Ramah dan sederhana. Itulah potret Ketua Dewan Penasehat PWO Independen Nusantara. Dia menolak hadiah yang diberikan oleh pengusaha tatkala menjadi KASAL.
Masih ingat reshuffle kabinet jilid pertama? Ada dua menteri yang dicopot dari kabinet kerja Jokowi. Pertama, Rahmat Gobel, Menteri Perdagangan. Kedua, ya Menko Polhukam, Laksamana Tedjo Edhi Purdjianto
Dari keduanya, sosok Tedjo Edhi yang menarik. Maklumlah, lelaki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, ini mantan orang pertama di Angkatan Laut, sebuah kesatuan yang dielu-elukan saat reformasi bergulir, khususnya kerusuhan Mei 1998 lalu.
Eh, sudah begitu, kesatuan yang dipimpin oleh Tedjo ini – begitu sapaan akrabnya, jarang-jarang menempati “posko” Menko Polhukan. Dia juga politisi dari Nasdem, partai pengusung Jokowi menjadi orang pertama di republik ini.
Tapi, ya itu politik: tak ada lawan maupun teman abadi, kecuali kepentingan. Dia bukannya dimutasikan ke bidang lain, langsung dicoret dari daftar kabinet.
Stres? Post Power Syndrom? Nyatanya tidak. “Usai direshuffle, saya menyiapkan segala sesuatu kepada Pak Luhut yang menggantikan saya,” tutur lelaki kelahiran 20 September 1952.
Alhamdulillah, semua pekerjaan rampung dini hari. Di rumah, sang istri yang terjaga menungguinya bertanya, “Tumben, kok selarut ini baru pulang?”
Istri Gembira
Tedjo pun terdiam sejenak. Dia tidak ingin istrinya kaget. Maka, dengan perlahan, dia mengaku kena reshuffle kabinet. Tidak disangka istrinya sedikit berteriak, mengucapkan puji syukur kepada Allah, Alhamdulillah. Istrinya benar-benar gembira
Maklumlah, Tedjo mengakui, sejak jadi menteri, wajahnya selalu tegang, jarang tersenyum. Ada sebuah tekanan yang mengganduli bahunya. Makanya, ketika tahu dirinya direshuffle, sang istri pun menyambut gembira. Istrinya berharap dirinya bukan lagi sebagai suami, Menko Polhukam. Melainkan suami prajurit sejati Angkatan Laut.
Lagipula, bagi pasangan yang dikaruniai empat anak ini, pengabdian tidak selalu menduduki jabatan formal. Melaikan segala aktivitas keseharian – asalkan sifatnya positif, dapat memberikan kontribusi kepada bangsa.
Sejak itu, Tedjo aktif wara wiri di bidang sosial. Tanpa ada pengawalan, tanpa aturan protokoler. Profilnya benar-benar rakyat biasa. Lihat saja, saat datang ke Hotel Grand Cempaka memberikan pembekalan pada Grand Launching Perkumpulan Wartawan Online (PWO) Independen Nusantara,13 April lalu, hanya menggunakan mobil dinas bernomer seri Angkatan Laut.
Turun dari mobil sedan, Tedjo langsung disongsong pengurus PWO-Independen. Tubuhnya atletis, tinggi besar, menunjukkan militer sejati. Bersama pengurus PWO-Independen, Tedjo yang mengenakan batik, berjalan menuju ruangan VIP.
Di tempat itu, Tedjo bercerita banyak, baik soal politik, Pilpres, ancaman NKRI, hutang negara dan sebagainya. Bahkan hal-hal bersifat pribadi, seperti pertemuannya dengan salah seorang konglomerat yang “mengejar-ngejarnya” bertemu sejak jadi perwira Angkatan Laut.
“Karena kesibukan, saya belum bisa menjadualkan bertemu,” ungkapnya.
Menolak Hadiah
Barulah, setelah menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), Tedjo menyempatkan waktu. Hanya saja, pertemuan bukan di kantor, tapi di rumah.
Setelah berbasa-basi dan pembicaraan ala kadarnya, pengusaha itu memberikan sebuah hadiah menarik. Diterima? Tedjo menggelengkan kepala.
“Saya menolak halus. Saya takut menjadi gunjingan orang banyak. Lagipula, anak-anak sudah berkerja, punya penghasilan sendiri,” ujarnya pada pengurus PWO. Lagipula, ketika dipanggil Sang Khalik, tidak membawa harta, kecuali amal ibadah.
“Wah, kalau di kepolisian ada Pak Hoegeng, maka di Angkatan Laut ada Hoegengnya Pak Tedjo dong,” ujar Lian Lubis, yang disambut gelak tawa Tedjo dan pengurus PWO-Independen lainnya, seperti Ade Novid, Rahmat Dawah, Harun, Idris Parman dan Taufiq Rachman.
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso adalah ikon potret kejujuran di kepolisian. Hoegeng – begitu sapaan akrabnya, menolak segala pemberian dari pengusaha, pembela wong cilik yang menjadi korban arogansi penggede – seperti kasus Sum Kuning Yogyakarta, dan kesederhanaannya yang merakyat. Sampai-sampai, Gus Dur dalam selorohnya, menyebut ada tiga polisi yang jujur. Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, Hoegeng Iman Santoso.
Obrolan pun terhenti, setelah terdengar suara azan panggilan Sholat Jum’at. Rombongan pun keluar ruangan, berjalan di teriknya matahari menuju masjid, bersebelahan dengan hotel. Lagi-lagi terlihat kesederhanaan Tedjo, perwira tinggi Angkatan Laut yang punya sekitar 6000 jam terbang mengawaki pesawat tempur.
Jodoh
Di podium, saat memberikan pembekalan, suami dari Yusfien Karlina ini, menyebut pertemuannya dengan PWO-Indonesia adalah jodoh. Pasalnya, selain pertemuannya dengan organisasi yang digagas oleh Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) ini sangat mudah dan tidak nyelimet, dia juga didaulat sebagai Dewan Penasehat PWO-Inddependen.
“Padahal, “hubungan” saya dengan pers kelabu, terutama saat jadi Menkopolhukam,” ujar Tedjo, yang disambut gerrr para anggota PWO-Independen. Dia menyebut, ada saja yang “salah” tentang dirinya, entah keterangannya yang dimuat tidak lengkap, pernyataan dari dirinya dan sebagainya. “Padahal, cerita yang sebenarnya tidak seperti itu. Itulah hebatnya pers dalam membuat opini publik,” tambahnya.
Makanya, kepada para anggota PWO-Indonesia, Tedjo berharap jadilah jurnalis yang memverifikasi fakta, akurat dan tajam dalam memberikan informasi. “Paling penting, jadilah jurnalis tanpa Hoax,” pintanya yang disambut standing applaous oleh anggota PWO-Indonesia.
Menurutnya, daya rusak hoax sangat luar biasa, seperti gesekan vertikal yang akhirnya meluluhlantakan bangsa. “Kita tidak ingin Bhineka Tunggal Ika tercabik dan terkoyak. Jadilah pers yang kritis, pers yang tetap mengisi kemerdekaan sesuai dengan fungsinya,” jelasnya mengakhiri pembekalan kepada jajaran PWO Independen yang datang dari pelbagai daerah