Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Paniai adalah nama salah satu kabupaten di Papua. Kabupaten yang memiliki luas 18.104,63 kilometer persegi ini beribu kota di Enarotoli. Jenis angkutan udara menjadi sarana yang sangat penting di kabupaten ini. Terdapat lima belas lapangan terbang yang tersebar di wilayah kabupaten ini (sebelas di antaranya merupakan milik swasta) dengan bandar udara utama di Enaro. Sesuai hasil pemekaran wilayah, kabupeten ini sekarang masuk ke dalam Provinsi Papua Tengah yang beribu kota di Nabire. Kabupaten yang terletak di pegunungan ini memiliki kecenderungan suhu udara yang rendah dan kelembaban udara yang relatif tinggi. Sesuai catatan dari lembaga yang berkompeten, suhu udara maksimum 24,6 derajat celcius dan rata-rata kelembaban udara rata-rata 72,3 persen – 82,3 persen.
Berdasarkan berbagai sumber diperoleh informasi, bahwa pada zaman Belanda, daerah Paniai di sebut “Wissel Meeren”, sesuai dengan nama 3 (tiga) danau yang terletak sekitar pusat kota Enarotali. Danau ini ditemukan oleh seorang pilot berkebangsaan Belanda Wissel, Tahun 1938. Danau dalam bahasa Belanda = meer; jamak = meeren. Karena Wissel yang menemukan danau-danau tersebut maka kemudian di kenal dengan nama “Wisselmeeren”. Sejak saat itu masyarakat Paniai mulai berinteraksi dengan dunia luar. Dahulu kala Wissel meeren kini Kabupaten Paniai merupakan salah satu Kabupaten di antara 29 (dua puluh sembilan) Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, terletak di Kawasan Pegunungan Tengah dataran Pulau/Tanah Papua. Kabupaten Paniai memiliki Potensi Sumber Daya Alam yang sangat besar, terutama Sumber Daya Tambang berupa Emas, Tembaga dan Potensi lainnya yang bila dapat dieksplorasi/eksploitasi akan memberi kontribusi yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat di daerah ini.
Pengadilan Agama Paniai
Berdasarkan fakta di lapangan dan sumber dari otoritas keamanan, Kabupaten yang letaknya di ketinggian sekitar 1.700 meter dari permukaan laut ini, masih menjadi daerah yang paling dihindari untuk dikunjungi. Bukan hanya letaknya jauh di pedalaman Papua, tetapi juga karena seringnya terjadi penembakan dan aksi kriminal. Bahkan, daerah ini disebut-sebut sebagai markas besar Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
Meskipun demikian, Kabupaten—yang dibentuk pada tahun 2001 dengan Bupati pertama tercatat bernama Zubaer Husen dan terakhir sejak 23 November 2018 dipimpin oleh Bupati Meki Frits Nawipa (seorang pilot) dan Wakil Bupati Oktavianus Gobay–ini, telah berdiri Kantor Pengadilan Agama. Pengadilan menangani perkara perdata khusus umat Islam ini berdiri berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 145 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998. Keppres yang diteken oleh Presiden Habibie pascareformasi ini, berisi pendirian 11 PA baru lainnya, termasuk 2 PA baru di Papua lainnya, yaitu PA Sentani dan PA Mimika. Dan, yang menarik justru Pengadilan Negeri belum ada di daerah ini.
Adapun wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Paniai melingkupi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Intan Jaya. Terdapat satu Kabupaten yang sampai saat ini masih belum masuk wilayah yurisdiksi baik PA Nabire maupun PA Paniai, yaitu Kabupaten Dogyai. Dengan keadaan seperti ini memang sering mengundang pertanyaan dari sisi kompetensi relatif. Kemanakah masyarakat setempat jika ingin berpekerkara, di Pengadilan Agama Nabire atau di Pengadilan Paniai? Akan tetapi menurut pengalaman, karena alasan keamanan, biasanya masyarakat setempat lebih suka berperkara di Pengadilan Agama Paniai.
Merah Putih dan Kisah Pilu Ardi
Sejak berdirinya sampai tahun 2016 Pengadilan Agama Paniai berkantor di Nabire. Kini PA Paniai telah mempunyai gedung kantor dengan prototipe baru. Seperti kantor pemerintah lainnya, di depan Pengadilan Agama pun berkibar bendera Merah Putih yang terikat di tiang besi tinggi menjulang depan kantor. Meskipun demikian, di tengah suka cita bergedung baru ini, terdapat suasana lain yang kontras. Dalam perkembangannya berbagai peristiwa kekerasan sering terjadi di wilayah yurisdiksi Pengadian Agama Paniai. Kisah horor berupa pemalakan terhadap para sopir pemerintah atau barang sering terjadi.
Kekerasan yang dilakukan sejumlah orang tertentu sering sudah berlatar belakang politik. Jalur Nabire menuju Enarotali (Ibu Kota Paniai) dengan jarak kurang lebih 300 kilometer itu merupakan salah satu jalur ‘legendaris’ bagi para pengemudi. Motif dan tipologi kekerasan yang terjadi di jalanan ini tidak bisa disamakan dengan aksi para bajing loncat di Tanjung Periok atau di Preman Tanah Abang. Di Jawa tindakan pemalakan pada umum berbentuk kriminal biasa dan sejumlah kekerasan di tempat-tempat itu pada umumnya masih dengan mudah dijangkau keamanan. Tetapi kekerasan yang terjadi di hutan Papua, itu jelas sama sekali tidak mudah terjangkau aparat.
Karena alasan dinamika keamanan yang tidak menentu itulah, sejak beberapa tahun lalu Pimpinan, Hakim, Panitera, Sekertaris dan beberapa pegawai pun terpaksa kembali berkantor di kantor perwakilan semula, Nabire. Hanya beberapa orang yang kebetulan memang penduduk setempat, yang ditugaskan ‘menjaga’ kantor beserta beberapa aset negara yang tidak bisa dibawa.
Dengan demikian sejak peristiwa-peristiwa kekerasan terjadi, kantor Pengadilan Agama Paniai memang harus mempunyai 2 kantor. Dalam situasi aman berkantor di atas (sebutan gedung baru yang terletak di Paniai). Sedangkan, jika situasi tidak kondusif terpaksa harus ‘mengungsi’ dengan berkantor di bawah (sebutan kantor perwakilan di Nabire). Adalah seorang driver bernama Ardi yang kemudian harus melaukan tugas-tugas berat. Tugasnya harus dianggap berat karena dia sering harus menjadi kurir secara fisik dengan menjalankan mobil dinas Nabire-Paniai pulang pergi demi fungsi-fungsi satker bisa berjalan. Medan yang dilalui sering terjadi tindakan pamalakan oleh oknum-oknum tertentu. Untuk mengenali situasi terkini, driver yang satu ini rupanya sampai harus membuat komunitas antar driver. Baginya kiat ini ditempuh bukan untuk menjamin seratus persen keamanan perjalanan tetapi hanya meminimalisasi risiko terburuk yang mungkin terjadi. Sebab, meskipun upaya ini telah ditempuh, masih saja antisipasi tersebut beberapa kali meleset.
Sebagai contoh, menurut cerita yang bersangkutan, dia masih pernah mengalami peristiwa sadis sekaligus horor. Ketika suatu ketika harus menjalani perjalanan dinasnya dari Nabire ke Paniai ditengah jalan pernah dihadang oleh sekelompok orang bersenjatakan parang dan panah. Setelah menghentikan mobil dinas secara paksa, mereka pun meminta uang secara paksa pula. Tentu bukan uang sumbangan pembangunan masjid dana sosial sepeti di Jawa Timur. Dalam situasi seperti perdebatan tidak mungkin dilakaukan, kecuali sesegera mungkin menuruti kemauan penghadang jika ingin tidak terjadi hal fatal. Meskipun demikian pada insiden yang terjadi sekitar pukul 4 sore waktu setempet ini, lembar ratusan yang ia sodorkan pun ternyata belum cukup membuat mereka bermurah hati memberikan jalan. Mereka justru minta tambahan dengan cara dan jumlah yang tidak masuk akal. Karena bersikeras tidak memenuhi keinginan pemalak, dia pun harus mendapat ancaman pembunuhan dengan parang panjang yang ketika itu sudah ditempelkan di batang leher satu-satunya. Mereka pun lalu mulai bertindak lebih, dengan memeriksa di semua lorong dalam mobil. Setelah menemukan uang beberapa juta milik temannya dan mengambil paksa handphone-nya mereka pun melepasnya dan beruntung hari itu selamat. Tetapi, dia tentu tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari-hari berikutnya.
Kisah sang driver tersebut jelas bukan kisah satu-satunya, anggota masyarakat lain juga sering mengalami kisah serupa. Akan tetapi yang pasti Ardi dan seluruh aparat pengadilan yang ada saat ini tidak banyak pilihan. Satu sisi, secara manusiawi pasti tidak betah bertugas di daerah konflik ini. Di sisi lain, tugas itu dengan berbagai cara harus tetap mereka laksanakan agar fungsi-fungsi negara, khususnya peradilan tetap berjalan. Dalam konteks demikian eksistensi mereka sejatinya merupakan representasi dari fungsi peradilan. Oleh karena Merah Putih tidak mungkin bisa berkibar tanpa kehadiran mereka, maka eksistensi mereka sejatinya juga juga simbol negara. Mengingat urgensi eksistensi mereka, maka ada baiknya para petinggi pusat mengepresiasi kinerja mereka dengan reward khusus yang setimpal dengan pengabdian di daerah konflik yang telah dijalankan. Atau, sesekali orang pusat perlu menambah pengalaman hidup dengan melihat Danau Paniai yang konon menjadi danau terindah di dunia. Mas Ardi tentu dengan senang hati siap mengantarkan, sekaligus menjadi pemandu (guide) amatirnya.
Akhirnya, diakui atau tidak, lambaian “merah putih” di depan gedung kantor Pengadilan Agama Paniai yang masih ada sampai saat ini, merupakan bukti masih berjalannya fungsi-fungsi negara, khususnya dunia peradilan. Dan, yang demikian tidak lain berkat dedikasi 13 orang aparat PA Paniai, termasuk sopir legendarisnya, bernama Ardi. Selamat bertugas. God bless you all.