JAKARTA, beritalima.com – Harusnya penjabat Gubernur DKI Jakarta yang sudah menjadi terdakwa sebaiknya dinonaktifkan. Masalah Ahok berdasarkan UU No.23 tahun 2014, setiap orang diamcam hukumam 5 tahun. Lalu kepala daerah yang sudah terdakwa, maka yang bersangkutan itu dinonaktifkan sampai memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu yang pertama menurut anggota DPD RI dari Kalimantan Tengah, Ir. H. Muhammad Mawardi, MM.,M.S manakala Ahok bersalah siap kembali, makanya dari itu perlu diberhentikan sementara.
Yang kedua, Mawardi melihat kondisi yang ada sekarang ini, kasus Ahok berdasarkan KUHP Pasal 156 diancam 4 tahun penjara, sedangkan Pasal 156 A diancam 5 tahun penjara. Dari dua ancaman itu Ahok bisa lepas kalau dituntut dibawah 4 tahun, meskipun tidak dinonaktifkan tapi statusnya tetap sebagai terdakwa. Namun bila Jaksa Penuntut Umum menuntut 5 tahun penjara. Maka secara otomatis Menteri Dalam Negeri harus menghormati hukum dan harus menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Karena persoalan politis, hal itu dimungkinkan Mendagri, pernah mengatakan menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum, 4 atau 5 tahun. Itu sah – sah saja mengargumentasikan demikian. Hal itu bukan karena Jaksa masih terus mencari saksi. Akan tetapi ditegaskan Mawardi bila terdakwa diancam 5 tahun, seharusnya dinonaktifkan. Permasalahannya, ada dua pasal yaitu 156 dan 156A, dimana tuntutan hukumnya berbeda, hingga Mendagri menunggu.
“Kalau saya secara pribadi, setiap orang yang sudah ditetapkan terdakwa demi hukum untuk menghadapi konsentrasi pada persoalan hukumnya. Lebih baik dinonaktifkan supaya tidak pecah. Bagaimana seorang terdakwa sambil memimpin pemerintahan. Saya yakin siapapun konsentrasinya tidak sebaik ketika tidak ada masalah, kendati ada pendapat yang menyatakan pemerintah membela Ahok. Itu sah – sah saja,” terangnya, Selasa (7/3/2017) di kantor DPD RI
Ia pun melihat apa yang dipersangkakan oleh masyarakat, secara jujur dia mengatakan bahwa lantaran Ahok seluruh Indonesia menjadi panas, di setiap daerah membicarakan Ahok. Memang ada resiko, apalagi tipikal Ahok itu, ‘Jangankan Manusia, Tuhan Salahpun Dilawan’.
“Jadi pemerintah dalam hal ini harus super hati – hati. Persoalan ini sama saja ada seorang gubernur yang maju sebagai petahana, dituntut 4 tahun bisa ikut pilkada malah menang, contohnya Gorontalo. Hal ini menjadi pegangan juga untuk daerah, siapapun orang kepala daerah diancam dibawah 5 tahun, tidak boleh dinonaktifkan karena jadi yurisprudensi, kalau tidak berarti tebang pilih,” imbuhnya.
Lebih lanjut dinyatakan Mawardi sebagai anggota DPD RI, pertama Ahok diminta secara gentleman menerima dinonaktifkan. Selama ini Ahok menyatakan tidak bersalah, oleh karena itu mau tidak mau menurutnya harus menghadapai persoalan hukum ini. Ia menginginkan proses pengadilan dipercepat, kalau bisa dalam satu minggu dapat dilaksanakan dua kali sidang.
“Sehingga putusannya segera dilaksanakan dan bisa klir apakah dia bersalah atau tidak. Kalau salah harus menerima resiko, kalau tidak bersalah kita juga harus menghormati hukum. Jangan kita setelah dinyatakan pengadilan tidak bersalah kita ribut, yasudah ini sudah hukum negara. Sedangkan nanti putusannya tidak bersalah nanti urusannya dengan yang maha kuasa,” terangnya.
Oleh karena itu wajar DPR wajar membuat pansus angket, sekarang DPR sudah menggunakan haknya. Oleh karena itu ditegaskan Mawardi, bahwa 10 ahli hukum berbeda pendapat dan tidak ada yang seragam. Apalagi yang diargumentasikan Mendagri cukup memahami juga, tapi ia ikut menunggu pada saat JPU membacakan tuntutan 5 tahun tidak dinonaktifkan, Mendagri sudah jelas melanggar hukum. dedy mulyadi