JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta Pemerintah mengklarifikasi adanya indikasi manipulasi data investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebab dugaan data itu dapat mengganggu iklim dan daya saing investasi di tanah air.
Dugaan manipulasi data realisasi penanaman modal oleh BKPM tercatat dalam pemeriksaan 2019-2020. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada indikasi investasi fiktif Rp 15,22 triliun.
Dijelaskan BPK, dugaan ini mengakibatkan laporan pencapaian realisasi penanaman modal BKPM 2019 tidak memberikan informasi kepada publik secara akurat. Ini berpotensi menyesatkan pihak yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan yang strategis.
“Pemerintah harus segera memberikan klarifikasi terkait investasi fiktif ini. Perlu segera diperbaiki sistem dan realitasnya. Jika tidak, temuan BPK ini akan menjadi preseden buruk terhadap investasi dan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pembangunan,” ungkap LaNyalla dalam keterangan pers yang diterima awak media pertengahan pekan ini.
Dikatakan senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur itu, ada tiga dampak strategis dari manipulasi data investasi ini. Pertama risiko anggaran, dimana dana yang dialokasikan untuk BKPM terbuang jika data realisasi investasi yang dicatatkan tidak sesuai kondisi riil.
Kedua berkaitan dengan pandangan investor. Dengan adanya investasi fiktif tentu saja membuat kepercayaan investor terutama asing terhadap kondisi penanaman modal di dalam negeri menjadi berkurang.
“Sejauh ini banyak investor asing yang mengacu kepada data BKPM. Lembaga internasional juga menggunakan data BKPM untuk menghitung prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar LaNyalla.
Dampak ketiga, risiko fiskal yakni insentif yang diberikan Pemerintah berisiko terbuang. Artinya, insentif yang diberikan otoritas fiskal tidak tersalurkan dengan tepat sasaran di mana faktanya BKPM memiliki kewenangan untuk merekomendasikan pemberian insentif, baik dalam bentuk tax holiday maupun tax allowance.
“Karena data yang tidak valid akhirnya banyak obral insentif tidak tepat sasaran, penanaman modal asing yang tidak memenuhi syarat malah mendapatkan fasilitas,” ujar LaNyalla.
Di sisi lain, manipulasi pencatatan realisasi investasi oleh BKPM 2019 Rp 15,22 triliun dapat mengurangi angka penyerapan tenaga kerja dari instrumen penanaman modal. Dua tahun lalu sekitar 2,5 juta tenaga kerja yang diserap dari skema investasi tersebut.
Dengan adanya indikasi investasi fiktif Rp 15,22 triliun, asumsinya ada sekitar 21.308 lapangan kerja juga terindikasi fiktif. Hal ini seperti yang disampaikan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
Untuk setiap Rp 1 triliun dari investasi diasumsikan menyerap 1.438 orang. Dengan adanya indikasi investasi fiktif Rp 15,22 triliun, artinya terdapat lebih dari 21.308 lapangan kerja yang juga terindikasi fiktif.
“Jika benar terjadi kecurangan angka tersebut kemudian bisa direvisi, dengan demikian penyerapan pada 2015 sampai 2019 sebanyak 11,29 juta orang juga sebenarnya angkanya tidak segitu,” lanjut LaNyalla.
Dia berharap masalah ini dicermati dengan baik. Sebab jika tak diperbaiki target pemerintah memulihkan ekonomi melalui investasi tidak mampu menekan defisit angkatan kerja. Apalagi seharusnya investasi menjadi penopang ekonomi bukan malah menjadikan masalah dan menjadi bola liar yang merugikan Pemerintah.
Untuk itu, lanjut LaNyalla, klarifikasi harus segera diberikan. Pemerintah perlu memperbaiki citra sehingga dugaan manipulasi investasi tersebut tidak menjadi kebenaran bagi para investor.
Kondisi saat ini sulit. Upaya pemerintah dalam memacu pemasukan negara melalui instrumen investasi jangan justru kontraproduktif dengan tujuan menambah pundi-pundi negara dan pemulihan pasar kerja tanah air.
“Jangan sampai menimbulkan citra buruk terhadap investor, terutama investor asing. Pastinya ini juga akan berpengaruh terhadap pembukaan lapangan kerja ke depannya,” demikian AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (akhir)