KUPANG, beritalima.com – Tahun 2024, LBH APIK NTT menangani sebanyak 78 kasus. Dari total 78 kasus yang ditangani oleh LBH AΡΙΚ NTT, kekerasan seksual anak masih menempati urutan pertama yakni 22%, diikuti dengan perceraian 21% dan KDRT 18%.
Demikian disampaikan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, SH, saat konferensi pers di Kantor LBH APIK NTT, Jl. Sam Ratulangi, Kota Kupang, Kamis (23/1) siang
Dalam konferensi pers yang dihadiri Koordinator Divisi Pelayanan Hukum, Ester Ahaswasty Day, SH, Koordinator Divisi Perubahan Hukum, Charisal D. S. Manu, S.Th, Mir Mil Staf Divisi Perubahan Hukum, Adelaide Ratukore, SH, Staf Divisi Perubahan Hukum, Joan P. W. S. Riwu Kaho, Florina Lito Kelore, Koordinator Keuangan dan Administrasi, Emiliana Djehalut, staff magang, serta wartawan media cetak, elektronik dan media daring, Ansy memaparkan Catatan Akhir Tahun LBH APIK NTT.
Dalam catatan akhir tahun 2024, LBH APIK menyampaikan bahwa persoalan TPPO, KDRT dan kekerasan seksual, masih menjadi momok bagi perempuan dan anak di Provinsi NTT. Hal ini tergambar dalam catatan akhir tahun (Catahu) LBH APIK NTT. Setiap tahun LBH APIK NTT meluncurkan catatan akhir tahunnya. Catahu ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas segala aktivitasnya dalam setahun.
Selain wujud pertanggungjawaban publik Catahu juga merupakan dasar bagi advokasi LBH APIK NTT (Evident Based Advocacy) dalam melakukan upaya pengurangan kasus berbasis gender (gender based violent/GBV).
Dikatakan Ansy, catatan akhir tahun, yang diluncurkan ini berisi riset terhadap media yang meliput tentang kasus-kasus di NTT, secara khusus kasus GBV. Selain riset media, catahu juga berisi data pendampingan kasus perempuan dan anak yang dilakukan oleh LBH APIK NTT. Dalam catahu ini, Riset media dibandingkan dengan data pengaduan kasus untuk menemukan trend kasus di NTT.
Data riset media menunjukkan bahwa kasus GBV dominan adalah kasus TPPO (20%), diikuti dengan kasus KDRT (18.5%) dan Kekerasan seksual pada anak (15,7%). Mirisnya, TPPO, KDRT dan Kekerasan seksual merupakan kasus dominan dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga nampak pada pengaduan yang masuk ke LBH APIK NTT.
Hasil riset LBH APIK NTT ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan kasus GBV belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah NTT termasuk kabupaten/kota di dalam provinsi NTT. Tingginya kasus TPPO membuktikan bahwa Keputusan Gubernur NTT nomor 357/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, tidak efektif. Malah moratorium pengiriman pekerja migran asal NTT ini menimbulkan masalah baru yakni tingginya angka TPPO di Provinsi NTT. Kasus TPPO di NTT berdasarkan riset media terbesar berada di kota kupang (43%), selebihnya terbagi pada kabupaten Manggarai Timur, Flores Timur, Nagekeo dan Sikka.
Data pengaduan kasus LBH APIK NTT memperlihatkan tingginya kasus perceraian di NTT. Hal ini menjadi “warning” bagi rumah tangga di provinsi NTT. Data pengaduan kasus LBH APIK NTT juga memperlihatkan adanya korelasi antara tingginya angka perceraian dengan kasus KDRT. Dari total kasus perceraian, 87,5% disebabkan oleh KDRT. Mirisnya lagi, eskalasi KDRT di NTT semakin meningkat menjadi kasus pembunuhan.
Tahun 2024, ada 6 kasus pembunuhan yang berlatar belakang kebencian terhadap gender tertentu (femisida). Ada banyak faktor penyebab terjadinya femisida, namun pada kasus di NTT, umumnya, pelaku merasa bahwa perempuan adalah hak miliknya dan harus tunduk pada pelaku sebagai laki-laki atau kepala rumah tangga.
Akibat adanya ‘penguasaan ini maka, laki-laki akan melakukan kekerasan terhadap perempuan (istri/pacar) bahkan sampai membunuh. Beberapa kasus femisida di NTT disebabkan pada masalah sepele, seperti belum menyiapkan makanan bagi suami, tidak mengindahkan permintaan suami untuk tidak ke kantor atau mengangkat anjing, sebagaimana kasus yang terjadi di NTT.
Pada kasus kekerasan seksual, anak masih menjadi korban utama. Berdasarkan data pengaduan kasus, 81% kasus kekerasan seksual, korbannya anak. Tahun 2024 ini menunjukan data yang memprihatinkan, di mana guru menempati urutan ke-3 sebagai pelaku kekerasan seksual (18%). Urutan pertama pelaku masih ditempati oleh keluarga (27%) dan teman korban (23%). Gambaran ini menunjukkan bahwa guru sebagai pendidik moral gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Selain itu, keluarga dan lingkungan persahabatan anak, bukanlah tempat yang ramah bagi anak.
Catatan akhir tahun ini memberikan refleksi bagi upaya pemerintah, NGO’s, masyarakat dan stakeholder lainnya agar dapat menyusun strategi yang tepat dalam upaya pengurangan kasus TPPO, KDRT (femisida) dan Kekerasan Seksual. Sinergitas dalam penanganan GBV menjadi kewajiban kita bersama agar kelak, “Gudang TPPO, Kekerasan Seksual dan KDRT” dapat dikosongkan.***