JAKARTA, Beritalima.com– Liberalisasi investasi dalam Peraturan Presiden (Perpres) No: 10/2021 kebablasan karena selain membuka kebebasan investasi industri minuman keras (sebelum akhirnya dicabut), lampiran Perpres itu membuka luas investasi bagi bidang usaha yang berpotensi mengancam kedaulatan negara maupun membahayakan lingkungan.
Padahal jauh lebih baik jika bidang usaha itu dikelola badan usaha dalam negeri, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selain mengamankan kedaulatan negara, juga bisa menjadi sumber pemasukan bagi negara.
“Saya percaya, langkah pembenahan yang dilakukan Menteri Erick Thohir bisa membuat lebih profesional,” ungkap anggota Komisi VI DPR RI dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak kepada awak media. Jumat (5/3).
Politisi senior ini lebih lanjut mengungkapkan, sejumlah bidang usaha yang sebelumnya masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) alias tertutup dari investasi asing dan swasta kini dimasukan ke dalam daftar positif investasi.
Dia menyontohkan Industri Kimia Industri dan Bahan Perusak Ozon (BPO) yang berpotensi membahayakan lingkungan. Bahan Perusak Lapisan Ozon (BPO) yang dimaksud adalah senyawa kimia yang berpotensi dapat bereaksi dengan molekul ozon di lapisan stratosfer.
Penggunaan BPO perlu dihentikan karena dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon. “Langkah ini kontraproduktif dengan upaya masyarakat dunia mencegah kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Ini jelas mengorbankan masa depan anak cucu kita,” tegas dia.
Perpres 10/2021 ini juga berpotensi membahayakan kedaulatan negara dengan kebijakan liberalisasi bidang usaha Pengoperasian Pelayanan Navigasi Penerbangan, Manajemen Stasiun Pemantauan dan Operasi Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, Fasilitas Bantuan/Telekomunikasi Navigasi Berlayar dan Sistem Informasi Lalu Lintas Kapal (VTIS), Pengoperasian Terminal Penumpang untuk Transportasi Darat.
“Meliberalisasi pengoperasian layanan navigasi penerbangan itu sama saja dengan menyerahkan pengelolaan ruang udara Indonesia ke pihak asing. Dan itu membahayakan kedaulatan NKRI karena kedaulatan udara dibawah kontrol pihak lainya yang semestinya menjadi kewenangan sebuah negara,” cetus Amin.
Anggota Badan Legislasi DPR RI ini mencontohkan pengelolaan rudang udara (flight information region) di Natuna, Tarempa dan Kepulauan Riau yang masih dikuasai Singapura.
Pengelolaan ruang udara Kepulauan Riau oleh negeri jiran tersebut hanya memperoleh sharing US$5 juta per tahun. Padahal potensinya jauh lebih besar jika dikelola sendiri untuk badan usaha milik nasional.
“Jokowi menjanjikan jika akhir 2019 FIR Kepri akan dikuasai Indonesia, lha kok malah dibuka investasi asing untuk layanan navigasi keseluruhan. Lengkap sudah penguasaan asing atas udara Indonesia, setelah Pemerintah juga mengizinkan pengelolaan bandara nasional kepada pihak asing,” kata Amin.
Ancaman atas kedaulatan udara juga muncul dengan kebijakan liberalisasi Manajemen Stasiun Pemantauan dan Operasi Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Contoh, soal frekuensi radio. Tanpa dibolehkannya investasi asing saja, masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan lebih banyak memperoleh informasi dari negara tetangga.
“Apalagi jika frekuensi radio secara nasional boleh dikuasai asing, kian lengkaplah penguasaan udara oleh asing. Infiltrasi budaya dan lain-lain yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia sangat mudah masuk, ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945,” kata Amin.
Liberalisasi kebablasan tidak hanya di udara, di darat dan laut terjadi dengan dibolehkan asing menguasai Pengoperasian Terminal Penumpang untuk Transportasi Darat dan Fasilitas Bantuan/Telekomunikasi Navigasi Berlayar dan Sistem Informasi Lalu Lintas Kapal (VTIS) atas nama investasi.
“Saya minta, lebih baik Perpres 10/2021 ini dicabut saja secara keseluruhan. Bukan hanya lampiran nomor 31, 32, dan 33 tentang miras. Saya khawatir asing kian berkuasa atas kedaulatan negeri ini. Jadi cabut saja Perpresnya bukan hanya lampirannya,” tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. (akhir)