Legislator Muda Kritisi Jokowi Gunakan PSBB Untuk Atasi Wabah Corona

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Politisi muda Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi V DPR RI membidangi transportasi dan infrastruktur, H Syahrul Aidi Ma’azat mengatakan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dipakai atau dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani virus Corona (Covid-19) tanpa analisa mendalam dan riset holistik.

“Ketidak jelasan, ketidak cermatan, ketidak siapan, ketidak sigapan serta kelalaian dalam menetapkan seperti apa dan bagaimana penanganan Covid-19. Jadi, opsi PSBB dipakai dan dipilih tanpa analisa mendalam dan riset holistik,” kata legislator dari Dapil II Provinsi Riau ini dalam keterangan pers yang diterima awak media, Jumat (1/5).

Padahal, kata lulusan S2 Universitas Bayt Jordan tersebut, PSBB bukan poin yang dianjurkan dalam UU No: 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan sehingga dalam pelaksanaannya akan membingungkan buat negara sebesar Indonesia yang terdampak di keseluruhan provinsi dalam penerapannya.

Dari poin diatas, jelas laki-laki kelahiran Kampar, 21 September 1977 itu, pemerintah tampak kebingungan dan selalu salah dalam implementasi kebijakan karena lemah persiapan dari segala hal, apalagi data yang akurat tentang perhubungan yang perlintasannya ‘nyelimet’ dan menghubungkan kepentingan semua pihak.

Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No: 25/2020 yang di tandatangani Pelaksana Tugas (Plt), Luhut Binsar Pandjaitan juga cacat dari awal, baik dari legal drafting ketatanegaraan maupun jalur koordinasi dengan mitra di Komisi V DPR RI. Dari segi ketatanegaraan Permenhub ini seharusnya batal demi hukum karena inkonstitusional dan melanggar Hak Azazi Manusia (HAM).

Dalam pasal 28J UUD 1945, pembatasan HAK harus menurut UU bukan Permenhub yang sifatnya turunan dan beleid. Kemudian pasal 27 ayat (2) UU No: 39/1999 Tentang HAM memberikan kebebasan warga negara untuk bergerak keluar masuk wilayah indonesia

.Permenhub Luhut Binsar Pandjaitan tersebut juga tidak singkron dengan peraturan yang lain seperti Permenkumham No: 11 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia. Pada sisi lain, Permenhub berjuang dalam repatriasi untuk menjemput Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA).

Namun, pada sisi lain, kata Syahrul, Permenkumham mempermudah akses orang asing masuk dengan alasan bisnis seperti masuknya 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China. Hal ini membuat miris karena seluruh infrastruktur di hold dan banyak tenaga kerja dalam negeri (lokal) yang mengganggur. Kesemapatan malah diberikan penguasa kepada TKA yang membolehkan mereka masuk wilayah Indonesia.

Selain itu, ungkap Syahrul, publik terganggu dengan pernyataan Menteri Perhubungan, Budi Karya terkait protokol pengaturan penerbangan untuk bisnis. Tidak ada kata pebisnis di Permenhub. Yang ada hanya untuk kebutuhan logistik dan keperluan kenegaraan termasuk presiden, pejabat, stake holder, alat medis dan tenaga medis.

“Jadi, kata bisnis itu untuk siapa? Apa wong cilik cari makan yang di larang itu bukan pebisnis? Jadi, ada narasi diskriminasi dan lalai dalam protokol pencegahan dan penanganan. Kalau dilarang, ya dilarang. Semuanya sama rata,” kata Syahrul.

Anehnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang harusnya pada posisi terdepan dalam penanggulangan wabah Covid-19, tidak diberi mandat kuat dalam menjalankan tugas. BNPB hanya diberi masalah karena tidak diberi ‘amunisi’ untuk menjalankan tugas.

Contohnya, ada menteri sebagai pembantu presiden menggampangkan persoalan seperti mengatakan, kalau soal aturan nanti di serahkan ke Pak Doni (Kepala BNPB-red). “Ini namanya cuci tangan dan nantinya semua kesalahan dalam mengatur protokol akan dilimpahkan ke BNPB. Dalam mengatur protokol Kemenhub yang lebih kompeten karena kerjaan sehari harinya terkait itu.”

Seharusnya, kata legislator ini, anggaran Covid 19 ini harus di posisikan satu pintu ke BNPB agar anggaran yang di salurkan kompatible dan tepat sasaran karena seluruh mandat ada di BNPB Dari amburadulnya PSBB yang melahirkan Permenhub setengah hati ini, imbasnya wajar saja pemberlakuan PSBB menjadi longgar dan bisa negosiasi dengan diskresi petugas di lapangan.

Seperti yang terjadi di lintas darat, lanjut Syahrul, semua pertimbangan bisa di tiga instansi terkait mudik. Padahal, Presiden Jokowi dalam kebijakannya melarang masyarakat untuk mudik. “Hal ini menimbulkan preseden bahwa ada ketidak adilan. Wong cilik yang sangat butuh mobilisasi untuk mencari makan malah disuruh kerja dari rumah alias Work From Home (WFH). Izin Khusus diberikan untuk pebisnis kaya.”

Kalau kita berbicara ketentuan hukum, lanjut Syahrul, tidak ada yang abu- abu. Yang ada hanya hitam putih. Kalau dianalogikan kepada Permenhub, ini inkonsistensinya berawal dari isinya yang tidak seharusnya di buat pada beleid di dalamnya sehingga . implementasinya akan selalu salah dan tidak menemukan solusi di masyarakat.

Karena itu, kata Syahrul, kami dari Fraksi PKS DPR RI, menghimbau Presiden Jokowi jangan hanya duduk manis tahta kerajaan atau mondar mandir di sekitar Istana memberi bantuan yang tidak tepat sasaran. Turun dong, dengarkan itu keluhan rakyat dan lihat implementasi kebijakan setengah hati ini.

“Jangan hanya mendengarkan bisikan para pembantu yang juga salah membuat aturan. Jangan membuat rakyat sengsara lagi dari tekanan mental kebijakan yang gagu ini. Cukuplah Covid-19 yang membuat mereka takut dan bingung,” demikian H Syahrul Aidi Ma’azat, LC, MA. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait