Jakarta, beritalima.com| – Legislator dari Anggota Komisi IV DPR RI Cindy Monica prihatin dengan nasib nelayan di Raja Ampat, Papua Barat, yang kesulitan untuk ekspor Lobster.
“Ada 600 nelayan di Raja Ampat itu gagal ekspor komoditas lobster karena tidak ada memiliki sertifikasinya. Dan marak juga di situ yang namanya sertifikasi abal-abal. Tarifnya Rp 2,5 juta Pak, biar dapat sertifikasinya,” ujar Cindy dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta (24/4).
Cindy menyoroti program KKP yang berbasis dari pinjaman hibah luar negeri (PHLN). Ia meminta KKP melakukan evaluasi PHLN. Karena beberapa program tersebut dinilai gagal menjawab kebutuhan dalam negeri.
“Ada beberapa case yang kami catat yang pertama adalah realisasi Program Oceans for Prosperity (Laut untuk Kesejahteraan/LAUTRA) di Papua dan NTT yang hanya masih 45 persen dari progres. Lalu yang kedua ada proyek Eco-Fishing Port (EFP) di Sumatera Barat yang karena desainnya itu tidak sesuai dengan kondisi geografis, jadi ini masih belum terealisasikan. Ada juga Fishing Port di Banten yang terkendala karena sengketa lahan,” papar Cindy yang dari Fraksi Nasdem.
Lalu, Cindy menyampaikan, “Fraksi Partai NasDem mendorong KKP untuk melibatkan terus nelayan melalui konsultasi publik sebelum PHLN ini disetujui. Sehingga program-program yang sudah kita desain itu tentunya bisa terarah dan terlaksanakan secara maksimal.”
Kembali ke soal Nelayan di Papua. “Tadi anggaran sertifikasi nelayan di Papua Barat itu kan dipotong 40 persen dari Rp3,2 milyar menjadi Rp1,9 miliar. Padahal, kita tahu hanya 12 persen dari 28 ribu nelayan di Papua Barat yang sudah tersertifikasi. Ini menurut data dari Dinas Perikanan. Sementara itu, sertifikasi yang menjadi prasyarat ekspor khususnya di pasar internasional seperti Uni Eropa (UE), ini membutuhkan itu,” ungkapnya.
KKP, sambung Cindy, harus dapat menjelaskan lebih lanjut terkait efisiensi ini yang berdampak pada kolapsnya UMKM yang berkecimpung di dunia perikanan.
Jurnalis: Rendy/Abri




