JAKARTA, Beritalima.com | Undang-Undang (UU) Daerah Kepulauan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan sekaligus sebagai wujud nyata kehadiran Negara di Daerah Kepulauan. Untuk itu, perlu etikad baik serta respon positif Pemerintah Pusat dalam mendoronng ercepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan menjadi UU.
Itu terungkap dalam Rapat Tahunan Badan Kerjasama (BKS) Provinsi Kepulauan 2019 dengan tema ‘Kebijakan Pemerintah terhadap Percepatan Pembangunan di Provinsi Kepulauan di Hotel Santika, Ambon, Kamis (17/10). Acara dibuka Wakil Gubernur Maluku, Barnabas Orno.
Tampak hadir Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrur Razi dan M Natsir Thaib, Wakil Gubernur Malut Arif Fadillah, Sekda Provinsi Kepulauan Riau, perwakilan Bangka Belitung, NTT, NTB, Sulut, Sultra, Ketua DPRD Maluku, sejumlah anggota DPRD Provinsi Kepulauan, perwakilan Kabupaten dan Kota Kepulauan.
Dari Kementerian/Lembaga hadir Dr Moch Ardian N, Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri Vicky Nana Kania, Kasubdit Hukum dan Harmonisasi Peraturan perundang-undangan Kumham dan Kisnu Haryo Kartiko dan Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhanas.
Arif Fadillah mengatakan, kebijakan desentralisasi merupakan pilihan tepat untuk mengelola negara maritim dan kepulauan. Perjuangan terhadap regulasi Provinsi Kepulauan sudah dimulai 10 Agustus 2005 (Deklarasi Ambon).
Anggota Provinsi semula tujuh Provinsi, kini delapan provinsi dengan masuknya Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi anggota. RUU Daerah Kepulauan merupakan inisiasi DPD RI yang sudah masuk Prolegnas.
RUU ini diakomodir pada Pasal 27-30 UU 23/2014 tentang Pemerintahdan Daerah (UU Pemda). Ini tentu tidak sesuai harapan. Karena itu, kami mendorong DPD memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan pada prolegnas berikutnya (2020-red) untuk dibahas dan disahkan menjadi UU.
Sementara Barnabas menekankan pentingnya treatmen khusus untuk Provinsi Kepulauan yang diwujudkan dalam bentuk UU. Tak ada alasan Pemerintah tidak mewujudkan RUU Daerah Kepulauan menjadi UU. Forum BKS diharapkan mampu memberikan efek buat perjuangan mewujudkan UU tentang Kepulauan.
Fachrur Razi mengatakan, RUU Daerah Kepulauan menjadi tanggung jawab DPD RI untuk menyiapkan sebagai usulan inisiatif dimana selama ini Negara belum hadir secara efektif.
Kebutuhan hukum (UU) yang mewadahi pengaturan Daerah Kepulauan mesti dibaca sebagai respon politik Negara terhadap perkembangan global dan eksistensi Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam satu tarikan nafas yang sama dengan tekad Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Ini juga penegasan jati diri sebagai bangsa bahari negara maritim serta ikhtiar membangun Indonesia sebagai kekuatan negara-bangsa yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity).
Ikhtiar kita ini, menghadirkan Negara lewat ‘pintu masuk’ RUU tidak lepas dari manifestasi pandangan hidup, nilai luhur masyarakat, cita hukum yang berakar kepada falsafah bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dan bersumber dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dikatakan senator dari Provinsi Aceh ini, ada tiga subtansi penting RUU yang diusulkan yaitu: 1) Ruang Pengelolaan (Yuridiksi dan Wilayah pengelolaan); 2) Urusan Pemerintahan (Irisan Urusan dan Skala Kewenangan tertentu); dan 3) Uang (Formulasi dan Nominal Pendanaan Khusus).
Pemerintah belum memberikan sikap yang jelas mengenai pengaturan Daerah Kepulauan. Apakah pemerintah memilih menerbitkan PP amanat Pasal 27-Pasal 30 UU Pemda atau membahas lebih lanjut RUU Daerah Kepulauan yang merupakan inisiatif Komite I DPD RI tersebut.
Selaku pengusul RUU tentu DPD sepakat membahas dan mengesahkan RUU Daerah Kepulauan dan meminta pemerintah seharusnya menyambut positif usul inisiatif ini sebagaimana DPD dan DPR menyambutnya.
“Kami meminta dukungan dan kerjasama dari Provinsi-Provinsi Kepulauan agar RUU ini segera dibahas kembali dalam dan segera disahkan. Komite I tentunya telah siap melanjutkan perjuangan bersama 8 Provinsi Kepulauan dalam mewujudkan UU Daerah Kepulauan.”
Kisnu Haryo dari Lemhannas berpendapat Daerah Kepulauan semestinya diatur dengan menggunakan pedekatan Desentralisasi Asimetris. Adanya regulasi memberikan kepastian dan kekuatan hukum bagi Daerah Kepulauan.
Keberadaan RPP Provinsi bercirikan Kepulauan sebagai amanat Pasal 30 UU Pemda yang belum terbit tentunya menghambat pelaksanaan Desentralisasi Asimtris.
“Keberadaan PP juga kurang optimal bagi Daerah Kepulauan, diperlukan suatu regulasi setingkat undang-undang. RUU Daerah Kepulauan ini belum terbahas dengan baik, sehingga Otonomi yang bersifat asimtris belum optimal”.
Dikatakan, Lemhannas mendukung adanya alokasi khusus bagi percepatan pembangunan Daerah Kepulauan termasuk didalamnya pengelolaan Sumber Daya Laut untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat Daerah Kepulauan. Konektifitas Daerah Kepulauan dan ketersediaan sarana prasaran yang menunjang pembanguan Daerah Kepulauan. (akhir)