SURABAYA, beritalima.com | Komunitas Millenial Peduli Indonesia (KOMPI) untuk kesekian kalinya mengadakan cangkrukan sore-sore. Komunitas yang dikomando oleh Nicodemus Raphonde ini cukup berperan dalam pencarian figur pengganti Tri Rismaharini.
Mahendra, Wakil Ketua KOMPI yang pada diskusi 21 Agustus 2019 kemarin didapuk sebagai moderator, mengklaim Kompi memiliki jaringan 1.500 kaum millenial.
Dalam cangkrukan bertema Generasi Millenial Bermodal Sosial ini Kompi menghadirkan Lia Istifhama (Ning Ceria) dan Pieter J Manoppo (aktivis dan ahli bedah) sebagai narasumber.
Lia memulai pemaparannya dengan membahas pentingnya modal dan kepekaan sosial.
“Bullying, cacian haters di sosial media, pertikaian hanya karena berita hoax ataupun sikap hyperbola, merupakan alasan mengapa modal sosial, kepekaan dan kepedulian sesama manusia, penting kita perhatikan,” ujar Lia.
“Mungkin kita sekarang masih enjoy saja karena tidak ada satupun dari kita yang mengalami situasi, perlakuan sosial yang tidak nyaman,” ungkap Lia.
“Tapi bukan berarti kita tidak memiliki kesempatan tersebut. Kita, keluarga kita, generasi anak cucu kita, tidak bisa terjamin dari perlakuan yang tidak baik dari orang lain,” lanjutnya.
“Maka dari itu, penting bagi kita menjaga kepekaan sosial, solidaritas, dan menjaga tenggang rasa sesama manusia. Nedo nrimo istilahnya,” tambah dosen perempuan tersebut, yang kemudian mengulas modal sosial secara gamblang.
Lia mengkaji modal sosial dalam perspektif beberapa tokoh, seperti Ibnu Khaldun, Pierre Bourdieu, Robert Putnam, dan Fukuyama.
Sementara itu narasumber Pieter J Manoppo mengkaitkan pentingnya modal sosial yang dibentuk dari upaya seseorang memelihara kesehatannya. “Menjaga kesehatan fisik sama halnya kita menjaga psikis kita untuk terus berpikir positif,” kata Pieter.
Ahli bedah tersebut juga mengingatkan pentingnya peran diri kita masing-masing untuk menjadi role model yang baik untuk orang lain, terutama generasi mendatang.
Lia sendiri, di akhir diskusi menjelaskan, ingin persoalan kepekaan sosial menjadi hal yang penting untuk dimiliki banyak orang.
“Eker itu elek, akur itu apik. Jadi kita semua semoga tidak mudah eker-ekeran. Baper boleh tapi mangkel gak boleh. Kita mungkin gampang ngerasani orang kalau lagi mangkel. Tapi setelahnya harus evaluasi diri. Bahwa ternyata sikap mudah marah itu tidak baik,” paparnya.
“Kita harus lihat situasi orang lain ketika kita tak sengaja berselisih paham. Jangan asal marah terus mikir jelek terhadap orang lain, karena kita akan malu kalau ternyata kita yang salah menilai,” tutur Lia.
“Jadilah cermin yang berusaha membangun sikap obyektif ketika berinteraksi sosial. Dan yang paling penting, belajar ikhlas, belajar sabar. Kata orang Suroboyo, meski dimangkelin wong liyo, gak usah kesusu melu mangkel,” pungkas aktivis perempuan ini.
Lia Istifhama sendiri digadang-gadang masuk bursa Pilwali Surabaya selain nama lain seperti Armuji, Fandy Utomo, Kelana, Wishnu Sakti, Eri Cahyadi, Samuel Teguh Santoso, Sukma Sahadewa, Laksamana Untung Suropati, Edward Dewarucci, Firman Syah Ali, M. Sholeh, Djadi Galajapo, Gus Hans, Daniel Gunawan, Mufti Mubarok, Dwi Astutik, dan lainnya yang bermunculan pada setiap harinya.
(rr)