SURABAYA, Beritalima.com-
Penghapusan Presidential Threshold (PT) 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi disambut positif oleh kalangan partai politik di Jawa Timur.
Putusan terbaru tersebut dianggap sebagai angin segar untuk iklim perpolitikan tanah air ke depan.
Seperti yang diungkapkan oleh anggota DPRD provinsi Jatim Lilik Hendarwati, yang memberikan apresiasi kepada MK yang sudah membuka ruang demokrasi baru bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.
Ketua Fraksi PKS DPRD provinsi Jatim itu menyakini putusan tersebut akan membuat demokrasi di Indonesia berjalan positif.
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR RI atau 25 persen dari suara sah nasional Pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan paslon di Pilpres.
Namun, pada permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Secara keseluruhan, keputusan ini bisa menciptakan iklim politik yang lebih inklusif, kompetitif dan aspiratif. Meskipun tetap perlu diimbangi dengan regulasi lain untuk mencegah ekses negatif seperti fragmentasi politik berlebihan,” terang Lilik.
Menurut Lilik, putusan ini bisa meningkatkan kesetaraan dan kompetisi politik. Karena tanpa PT 20 persen, peluang bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan presiden meningkat.
Tidak ada dominasi Parpol besar. Hal ini menciptakan kompetisi yang lebih terbuka, sehingga berbagai gagasan dan program kerja dinilai lebih beragam kepada rakyat.
Sehingga, putusan ini diyakini dapat mendorong partisipasi politik yang lebih luas. Dengan membuka ruang bagi lebih banyak calon, masyarakat memiliki lebih banyak pilihan yang sesuai dengan aspirasi mereka. Lilik mengungkapkan, hal ini bisa meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilu.
“Kemudian ini bisa mengurangi polarisasi politik. Karena sistem PT 20 persen cenderung membatasi jumlah kandidat, sering kali menyisakan hanya dua blok besar yang berkompetisi secara sengit. Dengan dihapusnya ambang batas ini, potensi polarisasi di tengah masyarakat dapat berkurang karena pilihan calon lebih banyak,” sambung wanita cantik berhijab yang selalu tampil penuh energik ini.
Bagi Lilik, putusan ini juga bisa mendorong koalisi yang lebih fleksibel. Sebab, partai politik tidak lagi terbebani untuk membentuk koalisi besar hanya demi memenuhi ambang batas pencalonan. Ini memungkinkan setiap partai lebih fokus pada ideologi dan visi mereka.
Didamping itu, penghapusan ambang batas 20 persen ini juga positif untuk memunculkan banyak tokoh baru.
“Tanpa hambatan PT 20 persen, tokoh-tokoh potensial di luar struktur politik mainstream seperti akademisi, profesional atau pengusaha lebih mudah untuk maju sebagai calon Presiden,” ujar Lilik.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR RI di Pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden.
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan Parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi Parpol peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan. Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan Paslon.
Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pemilu Presiden dan wakil Presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.
Artinya mempertahankan ambang batas Presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan Paslon.
“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi: Semua partai politik peserta Pemilu berhak mengusulkan Paslon Presiden dan wakil Presiden.
Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.(Yul)