Lima Batu Bata Kecil Untuk Zaman Yang Besar

  • Whatsapp

– Refleksi 40 Tahun Berkarya (1981-2021)

Denny JA

“Kau ciptakan malam.
Aku ciptakan lampu
untuk menerangi.
Kau ciptakan lempung.
Aku ciptakan cawan minuman”

Demikianlah bait puisi dari penyair Pakistan Muhammad Iqbal. Ia memuja Tuhan Sang Pencipta. Tapi Ia juga mengagungkan manusia, yang juga ikut mencipta.

Manusia tak hanya mahluk penerima ciptaan Alam Semesta. Tapi manusia juga tegak berdiri, menjadi co-creator, partner dalam berkarya, sekecil apapun.

Bukan manusia yang menciptakan malam. Tapi manusia bisa menciptakan lampu, membuat malam menjadi terang.

Bukan manusia menciptakan lempung. Tapi dari lempung, manusia bisa menciptakan cawan.

Puisi Muhammad Iqbal teringat. Sore itu, saya melihat website yang disiapkan kawan kawan, menyambut 40 tahun saya berkarya (1981-2021).

Dalam website itu, ada 57 judul buku yang pernah saya tulis. Dalam bentuk fiksi, tersedia 29 buku. Dalam bentuk non- fiksi, terbit 28 buku, mulai dari agama, filsafat, politik- ekonomi, marketing politik, demokrasi, review film, catatan perjalanan, psikologi positif hingga esai sastra.

Ada rekaman 50 video saya selaku pembicara. Ada 70 video yang mengubah karya sastra saya menjadi film, teater, lagu, dan video animasi.

Sebagian dari buku, pidato dan video itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Tahun 2021 ini website tersebut segera dilaunching.

Saya merenungkannya. Batu bata apa yang ikut saya berikan bagi dinding maha besar peradaban.

Seperti yang ditulis Muhammad Iqbal, individu, apalagi ia intelektual, akademisi, penulis, juga aktivis, tak hanya penerima peradaban.

Sekecil apapun, individu itu juga partner pencipta peradaban.

Dari 40 tahun berkarya, sumbangan apakah gerangan yang saya ikut berikhtiar? Yang saya ikut menjadi co-creator?

-000-

Selama 40 tahun berkarya, 1981-2021, saya menjadi saksi zaman yang berubah. Ini era history in the making. Sejarah tengah disusun ulang.

Ini era Internet of Things (IoT). Semakin banyak yang terkoneksi dengan internet. Dunia berpindah ke dalam handphone.

Ini juga era Hak Asasi Manusia. Moralitas baru lahir, baik diinspirasi oleh agama, ataupun melawan konservatisme agama. Nasionalisme. Feminisme. LGBT.

Ini era semakin dominannya ilmu pengetahuan. Pusat peradaban sudah berpindah, dari Gereja, Mesjid dan Kuil ke Universitas, Labolatorium dan Social Media.

Ini juga era semakin mendalamnya entrepeneurship. Zaman semakin cepat berubah. Kemampuan entrepreneurship yang membuat individu itu survive dan tumbuh.

Empat hal besar itu, Internet of Things, Hak Asasi Manusia, Ilmu Pengetahuan, Entrepreneurship, ikut menjiwai 40 tahun saya berkarya.

Ini lima batu bata kecil yang ikut saya ikhtiarkan dalam 40 tahun berkarya itu.

Pertama, ikhtiar ikut mewarnai jalan demokrasi Indonesia. Tahun 98, datang era reformasi. Sejak saat itu, indonesia memilih jalan demokrasi.

Pemilu demokratispun dimulai. Pertama kali dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, presiden dan kepala daerah (gubernur, walikota, bupati) dipilih langsung oleh rakyat.

Sebagai akademisi ilmu politik, saya ingin politik pemilu lebih modern. Saya berikhtiar mengawinkan politik pemilu dengan ilmu pengetahuan.

Berpolitik sebaiknya jangan lagi semata dengan firasat dan instink. Cobalah berpolitik secara ilmiah.

Survei opini publik merekam kehendak, mimpi, harapan, kekecewaan, persepsi pemilih. Survei itu menjadi panduan seorang tokoh untuk mengetahui aspirasi pemilih.

Tahun 2005, saya melobi Partai Golkar untuk memulai tradisi survei opini publik. Itulah momen pertama partai politik di Indonesia menggunakan survei opini publik untuk menjaring calon pemimpin daerah hingga presiden.

Tradisi partai menggunakan survei opini publik berlanjut hingga hari ini. Kini sulit kita membayangkan tokoh bertarung dalam pemilu tanpa didampingi konsultan politik. Sama sulitnya membayangkan individu maju ke pengadilan tanpa didampingi pengacara.

Sejak tahun 2005-2021, sudah lebih dari 1000 riset saya dan tim kerjakan. Dari Aceh hingga Papua.

Koran, radio, TV, diramaikan oleh pemberitaan survei opini publik. Riset Ilmu politik yang dulu “air mata,” sepi pemberitaan, sepi dana, kini menjadi “mata air.”

Karena besarnya perhatian publik atas serial riset Pilpres yang kami buat, di tahun 2009, saya dianugrahi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Jaya) sebagi Newsmaker of Election 2009. (1)

Bahkan di Tahun 2015, Majalah TIME memilih saya bersama Barack Obama (Presiden AS), Cristina Fernandes (Presiden Argentina), Narendra Modi (Perdana Menteri India) sebagai “30 Most Influential People in Internet 2015” (2)

Pengalaman 17 tahun menjadi peneliti, penulis, sekaligus konsultan politik, untuk urusan pemilu, sudah saya tuliskan dalam buku. Pengalaman praktis itu saya formulasikan menjadi buku teori dan praktek marketing politik. (3)

Sayapun kini dianggap founding father dari profesi baru: konsultan politik, di Indonesia.

-000-

Kedua, ikhtiar ikut mewarnai dunia sastra dan perjuangan anti diskriminasi.

Reformasi tahun 1998 memang melahirkan demokrasi di Indonesia. Tapi praktek diskriminasi justru muncul ke permukaan. Ini terutama dirasakan kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Saya ingin mengeskpresikan isu diskriminasi itu. Tapi agar dibaca luas, saya harus menyatakannya dalam karya fiksi.

Banyak riset yang sudah saya lakukan untuk isu diskriminasi. Sayang sekali jika data ini dihilangkan karena isu itu diekspresikan melalui puisi.

Saya pun berikhtiar menggabungkan data riset ke dalam puisi. Data riset itu muncul dalam catatan kaki layaknya paper akademik.

Agar puisi ini bercerita, Ia dibuat panjang, berbabak. Isu sosial dalam puisi itu dipotret melalui batin personal.

Jadilah Ia buku Atas Nama Cinta. Ini buku lima fiksionalisasi dari lima kisah sebenarnya. Saya menyebutnya Puisi Esai.

Lima puisi esai ini sudah pula difilmkan oleh Hanung Brahmantyo. Film ini acapkali diputar di awal, menjadi simulasi diskusi, atau kelas soal keberagaman.

Ternyata bentuk puisi esai ini diminati. Dari satu buku, kini sudah tebit lebih dari 100 buku puisi esai sejenis.

Yang kolosal adalah lima kisah local wisdom di setiap provinsi dituliskan dalam lima atau enam puisi esai, oleh penulis lokal provinsi itu.

Lahirlah 34 buku puisi esai, dari 34 provinsi. Satu buku untuk satu provinsi. Buku ini ditulis oleh 175 penulis.

Dari 34 buku puisi esai di 34 provinsi, lahir pula 35 skenario film. Ini mungkin serial film pertama di dunia, yang semuanya (35 skenario), berasal dari puisi. Tepatnya puisi esai.

Tak hanya meluas ke aneka provinsi. Puisi esai pun meluas ke Asia Tenggara. Pakar sastra dan sastrawan manca negara melakukan seminar satu hari soal puisi esai, di tahun 2017, di Malaysia.

Karena pemakaiannya sudah meluas, di tahun 2020, puisi esai pun menjadi kata baru dalam kamus bahasa Indonesia.

Di tahun 2020 pula, saya dianugrahkan Malaysia penghargaan Sastra tingkat ASEAN atas inovasi dunia puisi. (4)

-000-

Ketiga, ikhtiar untuk ikut merawat keberagaman, memoderasi paham agama, dan mengembangkan spiritualitas dari riset soal Happiness.

Topik ini sebenarnya paling banyak mewarnai karya saya. Terutama itu ditulis dalam tiga buku non- fiksi, dan satu buku fiksi.

Buku “Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim (2020).” Tesis utama buku itu: Perubahan signifikan berikutnya di dunia adalah transisi massal 50 dunia muslim menuju demokrasi dan kebebasan.

Tak perlu lagi membicarakan apakah ajaran Islam selaras dengan demokrasi dan kebebasan. Sejak Nabi wafat, agama itu masalah interpretasi. Selalu tersedia spektrum interpretasi dari paling kiri hingga paling kanan.

Buku Spirituality of Happiness (2020). Buku ini menjelaskan kita memasuki era post-materialisme.

Jumlah yang mati karena kondisi kurang makan, lebih sedikit dibandingkan jumlah yang mati karena kelebihan makan (yang berhubungan dengan obesitas).

Tapi jumlah mereka yang mati bunuh diri, lebih banyak dibandingkan yang mati karena terorisme ditambah bencana alam, ditambah perang setelah perang dunia kedua.

Ada hati yang hampa di saat peradaban melimpah. Di sisi lain, radikalisme dan primordialisme agama juga semakin keras.

Hidup bermakna dan bahagia dapat dicapai oleh siapapun, apapun agama, asal negara, gender, ras, sejauh menerapkan mindet dan habit bahagia.

Berdasarkan 50 tahun riset positive psychology, saya merumuskan formula bahagia. Itu 3P + 2S. Yaitu Personal Relationship, Positivity, Passion (3P), Small Winning dan Spiritual Blue Diamond (2S).

Menyelami samudera banyak agama, saya merumuskan tiga nilai spiritual yang menjadi inti ajaran: Virtues (Golden Rules), Power of Giving dan Oneness.

Karena Tuhan satu, alam juga satu dan manusia juga satu. Walau ada 4300 agama, tapi ada titik temu yang dapat menjadi ruang publik bersama.

Berdasarkan buku itu, kini satu tim, Happines is Us, sedang menggodok pola pelatihan (diskusi + meditasi) untuk hidup berbahagia.

Prinsip utama happiness disusun berdasarkan narasi ilmu pengetahuan.

Pelatihan ini nanti akan masuk ke aneka lingkungan kerja swasta dan pemerintahan.

Buku 11 Fakta Era Google: Pergeseran Pemahaman Agama (2021). Buku ini menelaah data terbaru. Betapa di negara yang paling bahagia (World Happiness Index), paling bersih pemerintahannya (Corruption Perception Index), paling tinggi kualitas manusianya (Human Development Index), mayoritas masyarakat tak lagi anggap agama bagian penting hidupnya.

Sementara riset arkeologi dan sejarah menemukan fakta. Bahwa Nabi Adam, kisah Nabi Nuh, Nabi Musa bukanlah tokoh sejarah yang nyata. Kisah Nabi Nuh dan Musa menyerupai kisah tokoh lain dalam peradaban yang lebih tua (cerita rakyat), yang kemudian dimodifikasi dan diberi bobot alam gaib.

Tapi agama memiliki seribu nyawa. Fakta ilmiah tak membuatnya mati. Yang terjadi dan akan terjadi, pemahaman agama hanya bergeser, dari kebenaran mutlak menuju kekayaan kultural milik bersama.

Sedangkan buku puisi esai, Roti untuk Hati (2017), lebih ketingkat filosofis menggambarkan trancendental unity banyak agama. Juga kritik atas konservatisme agama.

Kini tersedia 4300 agama, plus ribuan kepercayaan. Di Indonesia, ruang publik bersama untuk banyak agama itu disepakati dalam Pancasila.

Di tahun 2018, saya menyelengarakan pendidikan juru bicara Pancasila di 25 provinsi. Di tahun itu juga saya dianugrahi oleh Guiness Book of Record memecahkan rekor dunia pendidikan politik terbesar. (5).

-000-

Keempat, ikhtiar untuk ikut memperkaya public library di media sosial.

Riset menujukkan membaca buku semakin berkurang. Tapi menonton video semakin bertambah. Perlahan tapi pasti, zaman beralih dari medium tekstual menuju medium audio visual.

Sementara public library juga semakin berbentuk digital. Karya yang dapat diakses internet, dapat dengan mudah dibaca kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja.

Saya ingin ikut aktif memperkaya public library yang koleksinya bisa diakses dan dibaca melalui internet.

Karena ada isu copy rights, kerja memperkaya public library di media sosial, saya mulai dengan digitalisasi dan video karya sendiri. Atau karya yang copy rightsnya saya kuasai dulu.

Sebuah tim bekerja memindahkan karya untuk bisa diakses lewat media sosial.

Ada facebook perpustakaan puisi esai. Sekitar 100 buku puisi esai bisa dibaca, didownload dan dicetak dari link itu.

Ada facebook Perpustakaan Karya dan Pemikiran Denny JA. Sekitar 57 buku saya, dan 50 video pidato juga bisa diakses dari sana.

Komunitas puisi esai pernah pula membuat lomba review buku puisi esai. Semua review harus dimuat di Facebook.

Mereka memindahkan sebanyak 70 karya sastra untuk divideokan. Semua karya itu bisa diakses di Youtube.

Di tahun 2019, AGBSI (Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Seluruh Indonesia) membuat lomba untuk guru sastra, dan anak SMA, kritik dan apresiasi puisi esai Denny JA (6).

Anak- anak SMA bahkan diminta mengekspresikan kritik dan apresiasi lewat VLog (Video Log).

Menurut panitia, yang juga guru sastra SMA, Jajang Priatna, ini lomba sastra pertama yang mediumnya, memakai Vlog.

Ikut memindahkan karya teks menjadi video, dan menyimpannya di media sosial, apalagi ditambah substitle bahasa Inggris, itu ikut menyambut zaman baru.

Dengan datangnya teknologi 5G, dunia semakin global. Karya dalam bentuk video, yang berbahasa Inggris (minimal ada substitle), dan bisa diakses di internet, itu yang lebih sesuai dengan zaman.

Ujar Darwin: Survival of the fittest. Karya yang bertahan adalah karya yang paling sesuai dengan kondisi zamannya.

-000-

Kelima, ikhtiar memadukan dunia intelektual dengan entrepreneurship.

Di era pergerakan menuju kemerdekaan, dikenal sebutan pemikir pejuang, atau pejuang pemikir.

Umumnya para pendiri bangsa tak hanya praktisi politik. Mereka juga pemikir. Intelektual. Penulis.

Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan Kartini tak hanya kuat leadershipnya. Mereka juga penulis cemerlang. Esai mereka yang berserakan dikumpulkan menjadi buku.

Plato memperkenalkan istilah philopher king. Itu istilah untuk raja (pemimpin) yang juga memiliki knowlege dan wisdom.

Pemikir pejuang itu istilah lain dari philosopher king untuk dunia pergerakan.

Tapi kini istilah pejuang dapat diperluas. Entrepreneur mungkin istilah yang lebih luas dan sesuai untuk zaman ini.

Pemikir pejuang menjadi pemikir entrepreneur. Intelektual entrepreneur. Atau Penulis entrepreneur.

Di antara populasi penulis dan intelektual, terdapat pula segmen yang “juga penulis, juga entrepreneur.” Ia tak hanya cakap dan produktif menulis. Tapi juga cakap memimpin social and business entrepreneurship.

Entrepreneurs lebih luas dibandingkan pengusaha. Bisa dikatakan entrepreneur adalah pengusaha dengan gagasan yang lebih original. Atau pengusaha plus inovasi.

Di luar negeri, begitu banyak penulis yang trilyuner, mulai dari JK Rawling hingga Stephen King.

Di Indonesia, mustahil penulis bisa menjadi trilyuner. Industri film, TV dan perlindungan copy rights di Indonesia belum kondusif.

Tapi di Indonesia, penulis yang juga enterpreneur dapat saja sekaligus menjadi penulis trilyuner.

Dengan senang hati saya ikut mengembangkan species penulis entrepreneur. Sebagai penulis, saya tetap bisa produktif. Sebagai entrpeneur, Saya juga berikhtiar sukses, bahkan menjadi trilyuner.

Saya tergerak dengan ucapan Andrew Carnegie, yg disebut “The Gospel of Wealth. “Carilah uang sebanyak banyaknya untuk menolong orang lain sebanyaknya.”

Saya modifikasi: “Carilah uang sebanyak- banyaknya untuk ikut membangun peradaban sebisa- bisanya.”

-000-

Lima ikhtiar di atas buah yang manis dari 40 tahun saya berkarya. Dalam satu pohon, tentu ada pula buah yang asem, bahkan busuk.

Sisi “buah asem” atau “buah busuk” selama 40 tahun saya berkarya, biarlah pada waktunya ditulis oleh orang lain.

“Kau ciptakan malam, tapi aku ciptakan lampu,” ujar Mohammad Iqbal.

Bahkan kepada Tuhan yang maha, manusia tetap berdiri tegak. Mereka ingin menjadi co-partner kisah penciptaan. Partner dalam berkarya.

Ini zaman begitu besar. kepada zaman yang besar itu, seperti spirit Muhammad Iqbal, kita tetap tegakkan kepala.

Butuh waktu berkarya 40 tahun untuk saya bisa ikut menyumbangkan lima batu bata kecil saja bagi zaman yang besar itu.*

Maret 2021

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait