Oleh:
Rudi S Kamri
Beberapa hari terakhir di media banyak beredar perdebatan tentang perlu atau tidaknya kebijakan “lockdown” diterapkan di Indonesia. Beberapa pendapat mencerahkan, tapi banyak juga yang menyesatkan. Saya sendiri mengambil sikap saat ini Indonesia belum perlu mengambil kebijakan “lockdown”. Karena resiko dan dampak psiko-sosial dan ekonomi sangat tinggi untuk kondisi di negeri yang super gaduh ini.
“Lockdown” artinya dikunci. Jika Pemerintah melakukan kebijakan “lockdown” terkait dengan COVID-19, artinya Pemerintah akan mengunci seluruh akses masuk dan keluar suatu daerah maupun negara.
Jika suatu daerah atau negara dikunci atau di-lockdown, maka semua fasilitas public harus ditutup. Transportasi umum, sekolah, tempat hiburan, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik harus ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Aktivitas warga pun dibatasi. Bahkan ada negara yang memberlakukan jam malam.
Siap dan patuhkah kita warga negeri yang super berisik ini mengikuti semua konsekuensi “lockdown”? Jangan-jangan nanti malah protes keras ke Pemerintah akibat pembatasan tersebut. Jangan- jangan nanti dimanfaatkan oleh para politikus busuk dan kaum haus kekuasaan untuk cari panggung mendeskritkan Pemerintah. Jangan- jangan malah akan terjadi “chaos” ?
Selain resiko sosial dan ekonomi yang tinggi, saya sendiri tidak yakin masyarakat kita akan patuh terhadap kebijakan “lockdown”. Jangankan pembatasan total, menghindari kerumunan saja tidak dilakukan. Demo 212, demo buruh masih marak dan bergolak. Pesta-pesta masih berjalan seperti biasa, pengunjung mall masih penuh sesak. Kompetisi sepak bola Liga 1 masih berjalan gegap gempita. Aneh dan penuh aura ketololan.
Rakyat tidak peduli, pemerintah Pusat dan Daerah juga tidak berbuat apa-apa. Sebagai contoh di kampung-kampung kumuh di tengah kota Jakarta, masih saja banyak kerumunan massa di pasar malam dan tempat hiburan. Meskipun Gubernur DKI Jakarta lima kali sehari konferensi pers, ternyata hanya drama di atas media. Tidak ada tindak lanjut sampai ke akar rumput. Padahal kita tahu mayoritas penduduk kalangan bawah di Jakarta tidak mengkonsumsi media online atau media sosial.
Menurut saya kebijakan maksimal yang perlu diambil secara tegas oleh Pemerintah saat ini adalah kebijakan “social distancing” secara selektif. Istilah “social distancing” menurut Center for Disease Control (CDC) adalah menjauhi segala bentuk perkumpulan, kerumunan, menjaga jarak dengan manusia, dan menghindari berbagai pertemuan yang melibatkan banyak orang.
Tujuan “social distancing” adalah untuk mencegah orang sakit melakukan kontak dengan orang lain dalam jarak dekat. “Social distancing” juga bertujuan untuk mengurangi penularan virus dari orang ke orang.
Menurut saya penerapan kebijakan “social distancing” di Indonesia tidak bisa sekedar himbauan saja namun harus dilakukan secara paksa dan tegas. Langkah tegas Pemerintah antara lain menutup sekolah untuk sementara waktu (sebagian pemerintah daerah sudah melakukan), kebijakan bekerja di rumah bagi Aparat Sipil Negara (ASN) dan swasta harus diterapkan dengan ketat. Antrian berkepanjangan harus diatur jarak amannya. Kerumunan massa besar seperti pertandingan sepak bola Liga 1, kegiatan demonstrasi di jalanan harus dihentikan artinya tidak diberikan izin.
Lebih dari itu secara personal kita harus punya kesadaran untuk menjaga kesehatan diri sendiri dan keluarga terdekat. “Self Awareness” atau kesadaran diri adalah kunci utama dalam mengatasi kondisi darurat ini. Bagi yang secara ekonomi berpunya, jangan seenaknya melakukan belanja besar-besaran. Jangan pula tanpa rasa empati tetap mengadakan pesta atau plesir ke luar negeri. Satu-satunya jalan menghadapi bencana corona adalah kebersamaan dan saling meningkatkan empati sosial.
Kita dukung kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terkait “social distancing”. Sekaligus kita beri masukan apabila Pemerintah ada yang kurang tanggap. Mengkritisi Pemerintah itu wajib dan perlu. Tapi mari kita lakukan dengan cara yang santun dan bersifat solutif bukan provokatif. Kita gebuk ramai-ramai siapapun yang memperkeruh suasana dan yang membuat narasi negatif yang menyesatkan masyarakat.
Menghadapi Covid-19 tidak bisa sekedar adu pintar, adu wacana di media. Lebih penting dari itu adalah tindakan nyata yang cepat, tepat dan tanggap. Menghadapi gempuran virus corona juga tidak bisa hanya berserah kepada Yang Maha Kuasa: “Umur manusia sudah diatur sama Allah SWT,” kata para kaum penyerah. Saya tidak setuju sepasrah itu. Kita sebagai manusia juga harus berusaha, berikhtiar dan bahu membahu antar sesama manusia untuk terhindar dari bencana ini.
Saya yakin bencana Covid-19 akan segera berlalu. Tergantung bagaimana kita sebagai bangsa bertindak bersama. Pemerintah Korea Selatan dan Jepang tidak menerapkan “lockdown” tapi “social distancing” dan ternyata mereka berhasil mengatasi gempuran Covid-19. Kuncinya kebersamaan, soliditas sebagai bangsa dan kebijakan yang tegas dan cepat dari Pemerintah.
Mereka bisa menang melawan Covid-19, kita pun pasti bisa !!!!
Salam SATU Indonesia
16032020