Oleh Alois Wisnuhardana
Hari ini Asian Games 2018 resmi berakhir. Pembukaan dua minggu lalu, rasanya seperti baru kemarin. Medali emas pertama Rosmaniar, sepertinya masih hangat dibicarakan. Adegan Presiden Joko Widodo naik motor masuk Stadion GBK, sampai hari ini masih dinikmati orang.
Teriakan menggema di Istora dan GBK, masih memantul di dinding-dinding hati mereka yang mengalaminya. Ginting yang tersungkur dipapah tandu masih membekas dalam ingatan. Hanifan yang merangkul Jokowi dan Prabowo, masih terus dikomentari. Tendangan bola pemain takraw kita, mungkin akan menutup perolehan emas Indonesia.
Singkatnya, semua berlangsung begitu gegas. Begitu cepat. Begitu nikmat.
Rasanya memang baru kemarin. Dan tiba-tiba hari ini sudah akan berlangsung upacara penutupan. Semua orang sibuk mencari tiket supaya bisa menonton seremoni penutupan dan pesta bangsa-bangsa se Asia.
Upacara kali ini memang bukan lagi pertandingan atau perlombaan olahraga antarnegara. Ini adalah pesta persahabatan sesama manusia. Ini adalah perayaan kegembiraan yang belum tentu bisa didapat warga republik dalam setengah abad kemudian.
Tak heran harga tiket melambung berlipat-lipat di pasar gelap. Yang saya dengar, ada satu tiket yang harganya sudah 12 juta rupiah selembarnya. Tiket paling murah seharga ratusan ribu, tiada lagi yang dijual segitu. Semua ditawarkan dalam juta.
Ada satu orang di republik ini yang bisa datang dan melihat pesta tanpa harus membeli tiket. Bahkan ia bisa masuk dan duduk di panggung paling terhormat. Asian Games 2018 yang berlangsung hebat sendiri, tak lepas dari langkah-langkahnya yang cepat dan keputusannya yang tepat.
Tapi ia memilih pergi ke tempat lain. Bukan untuk meninggalkan tamu-tamu negara yang terhormat. Bukan untuk beristirahat melepas penat. Bukan untuk pakansi duduk-duduk di kursi lipat.
Satu orang itu memilih pergi ke Lombok. Memeriksa kembali pekerjaan dan penanganan gempa yang mendera rakyat di sana. Mengecek apakah para korban telah tertangani dengan baik dan mendapat pertolongan secara bermartabat. Tentu saja, sekaligus menghibur derita rakyat para korban yang sudah berlangsung lama.
Gempa Lombok sudah berlangsung sepantaran pelaksanaan Asian Games sendiri. Jika kita merasa Asian Games seperti baru kemarin dibuka, derita rakyat di Lombok mungkin sudah terasa bertahun-tahun. Dibanding rasa gembira, derita memang lebih menghunjam jantung dan kesadaran saat menerpa diri manusia. Tak heran ia memilih berada di sana ketimbang di tengah pesta.
Jokowi, jam 12.00 ini terbang ke Lombok. Lagi. Karena memang bukan baru kali ini. Mungkin ia akan menutup Asian Games dari sana. Atau menyerahkan urusan seremoni ini kepada para pembantunya.
Semoga penutupan Asian Games 2018 akan menjadi pesta kegembiraan, sekaligus momen penghiburan bagi para korban gempa di bilik-bilik pengungsian, bersama pemimpinnya di tengah-tengah mereka.