Jakarta, Kementerian Keuangan merilis hutang Negara mencapai Rp 4.571,89 triliun atau hampir Rp.5000 Trilyun, Posisi utang saat ini mengalami peningkatan dari April 2019 yang sebesar Rp 4.528 triliun. Dibandingkan dengan Mei 2018 mengalami peningkatan dari posisi Rp4.169 triliun,dan akan terus membengkak di bulan juni ini,kata Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) Wibisono,SH,MH menyatakan ke media di jakarta (25/6/2019)
Hal Berbeda dengan Kemenkeu, Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri Indonesia naik 8,7 persen secara tahunan (year on year/yoy) per akhir April 2019 menjadi 389,3 miliar dolar AS atau setara Rp5.533 triliun dengan menggunakan perhitungan kurs tengah pada 30 April yakni Rp14.215 per dolar AS, ujar Wibi
Pertumbuhan utang dari Mei 2018 ke Mei 2019 sebesar Rp402 triliun bila dibagi dengan 365 hari setiap harinya, utang bertumbuh Rp1,1 triliun. Pertumbuhan utang pemerintah sebesar 9,6%, hampir dua kali lipat pertumbuhan ekonomi. ” ini Luar biasa “, tambahnya
Selain itu, kata wibi, melihat rincian belanja pemerintah pusat hingga Juni 2019 yang menyebutkan Pembayaran Bunga Utang, Rp127,1 triliun yang tumbuh positif 13,0% dan sebaliknya Subsidi, Rp 50,6 triliun yang tumbuh negatif 17,0%,artinya subsidi yang menjadi hak untuk rakyat Indonesia (yang masih sulit hidupnya) dikorbankan untuk bayar bunga utang bagi para investor-konglomerat papan atas.
Utang ini terdiri dari pinjaman sebesar Rp 782,54 triliun dan surat berharga negara sebesar Rp 3.776,12 triliun,ujar Wibi.
Merinci lebih jauh, utang untuk pinjaman, terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 775,64 triliun, pinjaman bilateral Rp 319,68 triliun, multilateral Rp 417,23 triliun, dan komersial Rp 38,73 triliun. Kemudian, ada juga pinjaman dalam negeri Rp 6,9 triliun.
Sementara utang berupa surat berharga negara, terdiri dari denominasi rupiah sebesar Rp 2.741,10 triliun. Lebih rinci lagi untuk denominasi rupiah terdiri dari surat utang konvensional sebesar Rp 2.290,44 triliun dan surat utang syariah sebesar Rp 450,67 triliun.
Adapun, untuk surat utang valuta asing nilainya Rp 1.048,25 triliun, yang terdiri dari surat utang konvensional Rp 829,60 triliun dan surat utang syariah Rp 218,65 triliun.
Alhasil, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,72%.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) M Aminudin mengatakan, Bank Dunia juga sudah memperingatkan dampak buruk utang Indonesia yang sangat besar. Posisi utang pemerintah hingga Mei 2019 totalnya mencapai Rp 4.571,89 triliun atau naik Rp 43,44 triliun jika dibandingkan posisi April 2019 yang nilainya Rp 4.528,45 triliun. Pada periode Mei 2019 ini, pembayaran bunga utang pemerintah sudah mencapai Rp 127,1 triliun.
Aminudin menuturkan, saat ini juga terjadi perbedaan release utang Indonesia dengan Kemenkeu karena versi Bank Indonesia utang Negara sudah dikisaran Rp 5400 trilyun. Sementara APBN setahun hanya sekitar Rp 2500 trilyun. Maka sudah terbayang betapa beratnya alokasi APBN untuk membayar cicilan utang. Jika bunga utang pada periode Mei 2019 sebesar Rp 127. 1 trilyun maka bisa dibayangkan besarnya cicilan utang pokoknya yang harus dibayar.
Aminudin menuturkan, jika penerbitan utang tersebut sudah mendekati titik jenuh maka pilihannya nanti bisa dibebankan ke rakyat melalui kenaikan harga BBM, listrik, pajak dan lain – lainnya. Adanya banyaknya beban yang diterima rakyat maka tentunya akan semakin memukul sektor riil karena daya beli masyarakat akan semakin lemah.
“Pilihan lain adalah menjual aset-aset strategis untuk menutup hutang. Ini yang diperingatkan Bank Dunia,” tandasnya.
Wibisono menambahkan bahwa utang Indonesia memang sudah mengkhawatirkan, karena Kenaikan utang ini akan menimbulkan masalah terhadap kondisi di dalam negeri karena dikelola hanya mengutamakan infrastruktur ketimbang sektor mikro ekonomi, koperasi dan UMKM.
“Kita harus berhati-hati dengan utang yang semakin besar karena akan membuat perekonomian terpuruk. Dalam kondisi dunia perang dagang maka ongkos utang pun terus naik, dari 9,8% di 2016 menjadi 10,9 di 2017. Dampak dari utang yang membengkak maka yang dirugikan rakyat dan Negara,” papar Wibi
Sementara Mentri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan, dalam pelaksanaannya, pemerintah memegang teguh prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas pengelolaan utang dengan menjadikan pinjaman dalam negeri sebagai fokus utama pemerintah beberapa tahun terakhir,kata wibi.(***)