JAKARTA, beritalima.com | LSM LIRA (Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat) ikut tandatangani petisi tolak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melakukan pengawasan konten Media Sosial (YouTube,Fecebook, Netflix atau sejenisnya) yang diadakan oleh Change.org karena itu bukan tupoksinya. KPI tupoksinya mengawasi siaran Televisi dan Radio yang menggunakan frekuensi publik.
Ketika wartawan meminta konfirmasi tentang dukungan petisi yang diunggah di twitter @satulsm_lira (Lumbung Informasi Rakyat) kepada Presiden LSM LIRA, HM. Jusuf Rizal melalui WhatsApp di Jakarta, beliau membenarkan sikap LSM LIRA yang ikut menolak terhadap keinginan KPI untuk melakukan pengawasan konten medsos YouTube, Facebook, Netflix atau sejenisnya.
“Secara konsep dan gagasan itu bagus. KPI beralasan pengawasan konten yang berada di media digital bertujuan agar konten layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah. Tapi tupoksi KPI bukan disitu. Itu melanggar undang undang kecuali perlu adanya revisi perluasan kewenangan KPI,” tegas pria berdarah Madura-Batak itu.
Menurutnya ada beberapa poin kenapa LSM LIRA ikut menandatangani petisi tersebut yaitu Pertama, Mencederai mandat berdirinya KPI. Menurut Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002, tujuan KPI berdiri adalah untuk mengawasi siaran televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Wewenang KPI hanyalah sebatas mengatur penyiaran televisi dan dalam jangkauan spektrum frekuensi radio, bukan masuk pada wilayah konten dan media digital. KPI sendiri mengakui hal ini. (http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/35109-kpi-tak-melakukan-sensor-dan-pengawasan-media-sosial?start=21&detail5=5386
Kedua, KPI bukan lembaga sensor. Dalam Undang-Undang Penyiaran, KPI tidak memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya. KPI hanya berwenang menyusun dan mengawasi pelaksanaan Peraturan dan Pedoman Perilaku penyiaran serta Standar Program Siaran (P3SPS). (https://kominfo.go.id/content/detail/15458/jelaskan-fungsi-kpi-bukan-sensor-siaran-tapi-awasi-program-siaran/0/berita_satker
Ketiga, Netflix dan Youtube menjadi alternatif tontonan masyarakat karena dinilai kinerja KPI buruk dalam mengawasi tayangan televisi. KPI tidak pernah menindak tegas televisi yang menayangkan sinetron dengan adegan-adegan konyol dan tidak mendidik, talkshow yang penuh sandiwara dan sensasional, serta komedi yang saling lempar guyonan kasar dan seksis. Akhirnya, masyarakat mencari tontonan lain di luar televisi yang lebih berkualitas. Banyaknya orang yang beralih ke konten digital adalah bukti kegagalan KPI menertibkan lembaga penyiaran. KPI seharusnya mengevaluasi diri.
Keempat, Masyarakat membayar untuk mengakses Netflix. Artinya, Netflix adalah barang konsumsi yang bebas digunakan oleh konsumen yang membayar. KPI sebagai lembaga negara tidak perlu mencampuri terlalu dalam pilihan personal warga negaranya.
Jadi kata Jusuf Rizal Rencana KPI mengawasi konten YouTube, Facebook, Netflix, atau sejenisnya jelas bermasalah dan harus ditolak. KPI sebaiknya memperbaiki kinerjanya untuk menertibkan tayangan-tayangan televisi agar lebih berkualitas, bukan memaksa untuk memperlebar kewenangan dengan rekam jejak yang mengecewakan.
Selain itu, pemerintah juga perlu membuat program-program penguatan literasi media. Hal itu akan memberikan solusi konkret dan berorientasi jangka panjang kepada publik. Atau jika KPI ingin memperluas kewenangannya, UU yang mengatur Tupoksi KPI perlu revisi, tegas Jusuf Rizal