JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Demokrat di Komisi IX DPR RI, Lucy Kuniasari mengatakan, lonjakan kasus virus Covid-19 yang terjadi pasca masyarakat Indonesia merayakan hari besar keagamaan, lebaran Idul Fitri 1442 hijriah sudah diduga sebelumnya.
Bahkan, ungkap Lucy kepada Beritalima.com di Jakarta, Selasa (22/6), sebelum lebaran sudah sudah banyak yang mengingatkan Pemerintah, termasuk para wakil rakyat di Parlemen, khususnya Komisi IX bakal terjadi lonjakan kasus Covid-19 bila tidak ada ketegasan dari Pemerintah terkait dengan mudik lebaran.
Namun, Pemerintah tak segera mengambil tindakan. Kebijakan larangan mudik lebaran baru dilakukan Pemerintah beberapa pekan menjelang hari besar keagamaan tersebut dilaksanakan sehingga sebagian warga sudah sampai di kampung halaman dan berbaur dengan keluarga besar.
Dan, kebijakan yang diambil Pemerintah dengan melarang warga tidak mudik, juga tidak berjalan efektif karena informasi dari pemerintah ada 1.5 juta penduduk yang lolos mudik. Angka yang lolos mudik malahan diperkirakan jauh melebihi jumlah resmi yang dikeluarkan Pemerintah.
Sebab, kata Lucy, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Surabaya tersebut, banyak cara yang dilakukan pemudik untuk bisa lolos mudik tanpa terdeteksi aparat pemerintah. Pemudik tampaknya belajar dari pengalaman tahun sebelumnya dimana Pemerintah juga melarang warga mudik lebaram.
Selain itu, kata Lucy, banyaknya warga yng lolos mudik karena kebijakan larangan mudik tidak diikuti sanksi yang tegas. Hal tersebut tampaknya dimanfaatkan para pemudik yang memang sudah merindukan kampung halaman setelah sekian lama tidak berkumpul dengan keluarga di kampung halaman mereka.
Tinggi jumlah pemudik, lanjut Ning Suroboyo 1986 itu mengindikasikan, larangan mudik dari Pemerintah diabaikan sebagian besar masyarakat. “Mereka tidak lagi mendengarkan larangan dari pemerintah. Bahkan banyak diantara pemudik yang menyerobot di beberapa tempat penyekatan,” kata dia.
Dengan tingginya mobilisasi penduduk sebelum dan pasca lebaran, membuat penyebaran Covid-19 menjadi tidak terkendali. Hal itulah yang disaksikan saat ini. Wisma Atlet dan Rumah Sakit diinformasikan dipenuhi penderita Covid-19.
Bahkan sudah ada kekhawatiran Wisma Atlet maupun Rumah Sakit nantinya tidak bakal sanggup menampung penderita Covid-19. Selain itu, juga ada kelalaian di tengah masyarakat setelah mendapat vaksinasi Covid-19. “Sebagain dari mereka menjadi abai melaksanakan protokol kesehatan.”
Masyarakat abai melaksanakan protokol kesehatan karena diantara mereka percaya kekebalan tubuh sudah diperoleh setelah divaksin. Persepsi inilah yang membuat mereka juga abai menggunakan masker dan merasa aman berada di kerumunan. Hal ini juga yang membuat sebagian anggota masyarakat merasa aman untuk mudik.
Selain itu, jelas perempuan cantik berhijab ini, pemerintah memang sudah sejak awal ambigu dalam mengatasi Covid-19. Kebijakannya tidak pernah fokus pada penanganan kesehatan.
Pemerintah selalu coba mencari keseimbangan penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan dan ekonomi. Akibatnya, dalam mengatasi pandemi Covid-19 selalu tarik ulur seperti bermain layang-layang untuk mencapai keseimbangan sisi kesehatan dan sisi ekonomi.
Belum lagi masalah tidak padunya pengambilan kebijakan di pusat dan pusat dengan daerah. Akibatnya, sesama aparat pemerintah saling berpolemik, sementara masalah Covid-19 menjadi terbaikan. “Jadi, untuk mengatasi penyebaran Covid-19, Pemerintah harus fokus ke penanganan kesehatan. Semua kebijakan dan tindakan harus fokus penanganan Covid-19.”
Agar fokus pada aspek kesehatan, anjuran Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) agar Indonesia melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperketat sangat layak dilaksanakan. “Melalui PSBB diharapkan mobilisasi dapat ditekan seminimal mungkin,” jelas dia.
Kalau PSBB dilaksanakan, Pemerintah minimal harus menyediakan sembako bagi rakyatnya. Setidaknya sembago itu diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu.
“Hal tersebut harus dilakukan Pemerintah, karena pembukaan UUD 1945 mengamanatkan demikian. Negara harus melindungi segenap tumpah darah Indonesia,” demikian perempuan kelahiran Surabaya 4 Pebruari 1968 tersebut. (akhir)