Jakarta – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, pentingnya Indonesia memiliki pintu darurat dalam UUD 1945 dan protokol kedaruratan manakala terjadi kekosongan kekuasaan akibat pemilu tidak dapat dilaksanakan secara tepat waktu.
Bamsoet juga menegaskan pentingnya Indonesia menghadirkan kembali haluan negara dalam bentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dapat menjamin keselarasan dan kesinambungan pembangunan antara pusat dengan daerah, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, serta antara satu periode pemerintahan ke periode penggantinya, baik di tingkat pusat hingga daerah. Sekaligus memastikan pembangunan tidak hanya dijalankan berdasarkan pada pelaksanaan dengan memanfaatkan uang rakyat melalui APBN, melainkan terlebih dahulu didasarkan pada perencanaan yang matang. Sehingga pelaksanaannya tidak akan mangkrak ditengah jalan.
“Selain pentingnya kembali Kehadiran PPHN membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi, juga pentingnya kita semua mulai memikirkan adanya Pintu darurat dalam konstitusi kita dengan menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau TAP MPR yang saat ini dibatasi oleh ketentuan ‘penjelasan’ pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 yang mengakibatkan tidak adanya Ketetapan MPR yang baru karena terdapat pembatasan terhadap Ketetapan MPR yang menjadi jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,” ujar Bamsoet saat bedah buku sekaligus peluncuran buku ‘Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045’ karya Bamsoet di Jakarta, Minggu (10/9/23).
Hadir sebagai pembicara dalam acara bedah buku tersebut antara lain Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Yandri Susanto, dan Arsul Sani, Menkopolhukam RI Mahfud MD, Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun dan Robert Kardinal, Anggota BPK Ahmadi Noor Supit, Rektor IPB Arief Satria, Guru Besar UNPAD Ahmad M. Ramli serta Influencer Deddy Corbuzier dan Baim Wong serta moderator Ketua Koordinatorat Wartawan Parlemen Ariawan.
Bamsoet mengingatkan pada gagasan pentingnya perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh pendiri bangsa pada tahun 1947 yang terlihat dalam tujuh bahan-bahan pokok indoktrinasi. Tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, dan makmur. PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya. Dokumen tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi presiden dan penyelenggara negara lainnya dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangannya masing-masing.
“Bentuk hukum PPHN yang paling tepat dilakukan melalui Ketetapan MPR RI. Sehingga, dalam menghadirkan PPHN tidak perlu melakukan amandemen konstitusi, karena bisa dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan atau cukup dengan mengeluarkan ketetapan MPR jika kewenangan tersebut telah hidup kembali dengan menghilangkan ketentian ayat (1) huruf b pasal 7 dalam UU No. 12 Tahun 2011,” kata Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, buku ‘Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045’ merupakan buku ke-31 karya dirinya. Terkait dengan tema PPHN, buku ‘Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045’ merupakan buku yang keempat. Tiga buku bertema PPHN yang sebelumnya telah ditulis Bamsoet, yaitu ‘Cegah Negara Tanpa Arah’ (2021), ‘Negara Butuh Haluan’ (2021), dan buku ‘PPHN Tanpa Amendemen’ (2023).
“Melalui buku ‘Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045’ saya kembali mengingatkan semua kalangan tentang urgensi PPHN. Arah dan masa depan kehidupan berbangsa bernegara perlu atau harus dirumuskan dan disepakati oleh semua elemen bangsa. Dari rumusan program-program pembangunan dan kesepakatan tentang target-target pembangunan nasional itu, akan lahir halauan pembangunan nasional yang berkelanjutan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” urai Bamsoet.
Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD menilai gagasan menghadirkan haluan negara relevan dengan kondisi saat ini. Pada saat pemerintahan Presiden Soekarno Indonesia memiliki peta jalan atau perencanaan jangka panjang yang jelas, yakni
Pembangunan Semesta Berencana yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Istilah Pembangunan Semesta Berencana pertama kali dipergunakan pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Tap MPRS ini dapat disebut tonggak kesadaran bangsa Indonesia untuk menyusun perencanaan pembangunan dengan benar.
“Pola pembangunan jangka panjang dilanjutkan di era Presiden Suharto dengan nama Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai haluan penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR,” kata Mahfud.
Mahfud MD menjelaskan di era reformasi, GBHN dihapuskan. Namun, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Jangkauan pembangunan Indonesia menurut UU SPPN dan UU RPJPN adalah 20 tahunan untuk jangka panjang, lima tahun untuk jangka menengah, dan tahunan untuk jangka pendek.
“Gagasan Ketua MPR RI terkait perlunya PPHN harus dipandang sebagai salah satu tawaran yang niscaya diperlukan. Namun, harus diingat seumpama nanti PPHN ini disetujui menjadi TAP MPR, atau masuk di UUD atau apapun bentuknya disetujui oleh negara, jangan pernah bermimpi bahwa negara ini akan selesai dengan mengubah peraturan. Karena masalah kita sebenarnya bukan di peraturan, tetapi masalah moralitas, integritas, konsistensi, kejujuran dan keberanian,” ujar Mahfud. (ar)