SURABAYA – beritalima.com, Rencana kenaikan iuran BPJS pada Juli mendatang dianggap sangat meresahkan masyarakat.
Salah satunya, Kusnan Hadi (48), pedagang paguyuban warung kopi Surabaya.
Pria asal Jalan Pesapen Barat 10 Surabaya tersebut kembali akan menggugat pemerintah dengan mengajukan permohonan uji materiil yang ditujukan kepada Mahkamah Agung.
Dengan didampingi tim penasihat hukumnya dari Sholeh & Partners, pemohon mengajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terkait Peraturan Presiden No 64 tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Presiden No 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Ditemui usai mengajukan permohonan uji materiil, Sholeh mengatakan, bahwa pengajuan gugatan ini untuk kali kedua terkait rencana kenaikan iuran BPJS.
“Tahun kemarin, kami juga diminta pemohon untuk ajukan uji materiil Perpres 75/2019. Ini kali kedua,” jelas Sholeh, Jumat (15/5/2020).
Lanjut Sholeh, pihaknya menggugat karena menganggap pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Agung. Di mana waktu itu, MA menolak Perpres 75/2019.
“Pemerintah justru terkesan melawan keputusan MA. Ini bisa dikatakan pelecehan,” ujarnya.
Sholeh menambahkan, pemerintah boleh merubah dan membuat peraturan baru tetapi isi atau substansinya tidak boleh sama.
“Tidak boleh ada kenaikan BPJS. Saat ini wabah Covid-19, yang dibutuhkan bansos, BLT, bukan kenaikan BPJS,” jelasnya.
Lanjutnya, untuk kenaikan di kelas 1 misalnya dari Rp 150 ribu menjadi Rp 160 ribu atau kenaikan Rp 10 ribu.
“Kalau satu orang tidak terasa. Jika suami, istri, dan tiga anak itu akan memberatkan,” ujar Sholeh.
Dengan pengajuan uji materiil itu, diharapkan MA bisa membatalkan sebelum ditetapkan pada 1Juli mendatang.
“Yang harus dipahami, konteks
BPJS bukan asuransi swasta.
Negara tanggung jawab urusan infrastruktur kesehatan,” tambahnya.
Sholeh menilai konsep yang dilakukan pemerintah keliru. Harusnya BPJS diperuntukkan bagi warga miskin.
“Tidak semuanya. Begitu ada kerugian, pemerintah memberlakukan secara merata kepada semua peserta BPJS,” pungkas Sholeh.
Akhirnya, Sholeh pun berharap agar sebelum 1 Juli nanti Mahkamah Agung menolak terbitnya Perpres 75/2019 ini. (Han)