Mabes Polri Rilis Tersangka Petinggi KAMI Ujaran Kebencian UU Omnibus Law

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com| Bareskrim Polri menangkap tiga tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) jadi tersangka. Mereka adalah AP, SN dan JH. Ketiganya ditangkap karena diduga terkait demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berujung ricuh beberapa hari lalu. Di antara tokoh KAMI itu Anton Permana yang ditangkap di daerah Rawamangun pada 12 Oktober 2020. 


Sehari kemudian, 13 Oktober 2020, polisi pun menangkap Syahganda Nainggolan di Depok Jawa Barat. Kemudian menyusul Jumhur Hidayat yang diamankan petugas kepolisian di Jakarta Selatan. 
Syahganda adalah anggota Komite Eksekutif KAMI. Sedangkan Anton dan Jumhur merupakan petinggi KAMI. Selain itu, polisi juga mengungkap peran masing masing tersangka dan rangkaian penangkapan orang-orang tersebut terkait dugaan penghasutan serta menyebarkan ujaran kebencian berdasarkan SARA. 


“Ada beberapa kegiatan yang terpantau di media sosial, yang saya sampaikan ini dari Medan. Ada dua laporan polisi dan empat tersangka. Kita lakukan penangkapan dan penahanan,” ungkap Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Argo Yuwono saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).


Dalam konferensi pers tersebut, mereka tampak mengenakan baju warna orange khas tahanan dengan tangan terborgol, dari empat tersangka yang diamankan dari Medan memiliki peran masing-masing. Pertama, Khairi Amri berperan sebagai admin grup Whatsapp KAMI Medan. Dalam grup itu, Khairi menyebut bahwa “DPR RI sarang maling dan setan”. Kemudian kiriman pesan dari inisial KA ini memuat tulisan mengumpulkan saksi melempari DPR RI dan melempari polisi. Kemudian ada tulisan, “Kalian jangan takut dan jangan mundur”.


“Jadi ini tersangka KA yang dia admin KAMI Medan akan kita perdalam kembali. Di sana banyak member-nya masih didalami Cyber crime Polri, nanti evaluasi,” kata Argo.
Kemudian tersangka Juliana, dalam grup Whatsapp menulis, “Batu kena satu orang, bom molotov bisa kebakar 10 orang, dan bensin bisa berceceran”. Kemudian ada juga menyampaikannya, “Buat skenario seperti 98, penjarahan toko China dan rumah-rumahnya”. Kemudian ada juga unggahan, “Preman diikutkan untuk menjarah”. Kemudian tersangka Novita Zahara menulis, “Medan cocoknya didaratin” dan Wahyu Rasasi Putri menyampaikan, “Wajib bawa bom molotov”.


“Ada bom molotovnya sama, Pylox ini untuk membuat tulisan. Dan bom molotovnya untuk apa? Untuk melempar. Melempar apa? Fasilitas ada mobil terbakar yang dilempar, ini gambarnya sehingga bisa terbakar,” kata Argo, menerangkan.


Selanjutnya, tersangka Jumhur Hidayat, diduga mengunggah ujaran kebencian melalui akun Twitter pribadinya yang berkaitan dengan UU Ciptaker yang tengah jadi polemik. Dalam akun Twitter-nya, Jumhur menuli, “Undang-undang memang untuk primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus”. Jumhur dikenakan Pasal 28 ayat 2 kita juncto Pasal 45A ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU No 1 Tahun 1946, dengan ancaman 10 tahun penjara.


“Yang bersangkutan modusnya mengunggah konten ujaran kebencian di Twitter milik yang bersangkutan, milik tersangka JH ini. Tersangka ini menyebarkan, motifnya menyebarkan muatan berita bohong tersebut mengandung kebencian berdasarkan SARA,” ungkap Argo.


Sementara, Deddy Wahyudi mengunggah tulisan, “Bohong kalau urusan Omnibus Law bukan urusan Istana, tapi sebuah kesepakatan”. Polisi menjerat tersangka dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian dan membuat kegaduhan atau keonaran dengan berita bohong. Deddy dijerat dengan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45A ayat 2 UU ITE soal ujaran kebencian. Kemudian polisi juga menjerat Dedy dengan pasal 14 ayat 1 dan 2, serta pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait membuat gaduh/keonaran dengan berita bohong atau hoaks.
Selanjutnya, tersangka Anton Permana, kata Argo, menuliskan komentar di akun Facebook dan Youtube, salah satunya tentang multifungsi Polri melebihi Dwifungsi ABRI. Dia juga menulis, “NKRI kepanjangan dari Negara Kepolisian Republik Indonesia”. Anton juga disebut menulis, “Disahkan UU Ciptaker bukti negara telah dijajah. Juga tulisan, negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru”.


“Yang bersangkutan dikenakan Pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 dan 207 KUHP, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara,” ucap Argo.
Untuk Syahganda Nainggolan, Argo mengaku, pihaknya menemukan foto yang diberi keterangan tidak sesuai dengan kejadian. Motifnya, Syahganda mendukung demonstran dengan berita yang tidak sesuai gambar. Dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak omnibus law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh.
“Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya. Pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1 tahun 1946, 6 tahun,” kata Argo.


Terakhir, tersangka Kingkin Anida, menurut Argo, Kingkin mengunggah sejumlah butir UU Ciptaker di Facebook yang dianggap tidak benar oleh polisi. Argo mengeklaim, 13 butir UU Ciptaker yang disampaikan Kingkin bertentangan semuanya. Sehingga, Kingkin diduga menyiarkan berita bohong di Facebook.


“(Dikenakan) Pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan Pasal 15 UU 1 tahun 1946. Barbuk ada HP samsung, simcard, KTP. Ini semua kita sudah periksa saksi ahli pidana, ahli bahasa, ahli IT berkaitan dengan tersangka dalam 1 laporan polisi,” tutup Argo. [Red]

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait