SURABAYA, beritalima.com | Pasangan Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno dan Eri Cahyadi-Armuji punya kans yang sama untuk menang dalam kontestasi Pilwali Surabaya yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Pasalnya, kedua calon sama-sama orang baru, bukan petahana. Pernyataan tersebut disampaikam Agus Mahfud Fauzi, praktisi hukum Unesa, dalam acara Cangkrukan Demokrasi Sehat dengan tema "Pilwali Surabaya; Netralitas dan Potensi Abuse of Power" yang digelar di Hotel Mercure Mirama, Surabaya, Jumat (2/10/2020). "Karena keduanya sama-sama calon baru, bukan petahana, maka siapa yang bisa mengkapitalisasi dirinya di Surabaya, maka dia akan mempunyai nilai lebih," kata Agus Mahfud Fauzi. Agus lantas memberi contoh Bill Clinton yang menjadi presiden Amerika Serikat dua periode, yakni 1993-2001. Dia terpilih kembali sebagai presiden pada kontestasi kedua meskipun digoyang dengan kasus skandal seksnya dengan pegawai magang di Gedung Putih, Monika Lewinsky. Mengapa pada kontestasi kedua Clinton masih bisa menang, menurut Agus, karena dia bisa mengkapitalisasi dirinya dengan menyampaikan kondisi perekonomian Amerika Serikat selama berada di tangannya yang meningkat dua sampai tiga kali lipat dibanding presiden sebelumnya. "Amerika memang agamanya bukan muslim, tetapi mayoritas warganya sangat agamis, apakah itu katolik atau protestan. Dan kalau bicara skandal seks sangat tidak disukai, maksudnya dilarang oleh agama juga. Seperti Islam melarang terhadap skandal seks. Namun Clinton bisa menang karena bisa mengkapitalisasi kelebihannya," terang mantan anggota KPU Jatim tersebut. "Nah, sekarang apa yang dikapitalisasi oleh Pak Machfud Arifin di Surabaya ini. Begitu juga dengan Mas Eri," sambung Agus. Menurut dia, kunci kemenangan ada ketika calon memaparkan kelebihan dan pengetahuan mereka. Misalnya soal tata kota atau penanganan Covid-19 yang sampai sekarang belum tuntas. "Itulah yang dibutuhkan oleh rakyat," katanya. Selain Agus, Cangkrukan Demokrasi Sehat yang dipandu wartawan senior Dhimam Abror Djurait ini juga menghadirkan Ketua Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) Jatim Novli Benardo Thyssen, Wakil Ketua DPRD Surabaya Reni Astuti dan praktisi hukum Abdul Malik sebagai nara sumber. Reni Astuti dalam acara ini mengingatkan arti pentingnya netralitas dalam kontestasi Pilwali Surabaya. "Bicara netralitas sangat erat dengan kualitas yang dihasilkan, sehingga nantinya terpilih wali kota dan wakil yang berkualitas. Ketika netralitas diabaikan, maka yg dirugikan adalah warga kota," tandas politisi asal PKS ini. Dia pun kembali mengingatkan Pemkot Surabaya agar tidak menyalahgunakan dana kelurahan untuk kepentingan Pilwali Surabaya, seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna DPRD Surabaya pada Senin (28/9/2020) lalu, yang dihadiri Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut dia, ada indikasi tahapan perencanaan dana kelurahan melanggar Perwali 68 Tahun 2019 pasal 19 ayat 1,2, dan 3. Dugaan pelanggaran ini berdasarkan temuan-temuan yang terjadi di banyak wilayah. Reni mengatakan, Pemkot Surabaya baru merealisasikan dana kelurahan dengan anggaran yang cukup besar pada tahun 2020. Padahal, mestinya dana tersebut sudah bisa dicairkan pada 2019. Reni mengatakan, dasar dana kelurahan tercantum dalam Permendagri 130 tahun 2018. Mestinya, pada 2019 dana kelurahan sudah bisa digunakan, tapi sayangnya perwali belum dikeluarkan. Sehingga, baru tahun 2020 bisa digunakan. Menurut Reni, ketika Permendagri keluar pada 2018, harusnya jika pemkot ingin mencairkan program tersebut, pada 2018 perwali sudah bisa dikeluarkan. Tapi itu tidak dilakukan, dan perwali baru dikeluarkan Desember 2019, dan itu dijadikan pijakan pemkot mengeluarkan dana kelurahan pada momen Pilwali 2020 ini. "Saya sebagai wakil rakyat hanya bisa mengingatkan, agar dana kelurahan itu bisa dipergunakan seusai tujuannya," katanya. Hal serupa disampaikan praktisi hukum Abdul Malik. Dia mengatakan, bukan hanya kedua paslon yang menjaga harus netralitas. Media juga berperan. ”Media sebagai kontrol dalam proses pilkada yang sehat harus bersifat netral, tidak boleh berpihak. Kalau benar katakan benar. Dan sebaliknya,” tutur Abdul Malik. Namun dia menyayangkan etika politik yang sering dirasa masih kurang. Tidak hanya bagi media, dia melihat Bawaslu juga masih kurang bergerak. ”Saya miris ketika etika politik terasa kurang. Kadang Bawaslu juga kurang greget ketika melihat siapa yang bersalah atau tidak. Semua harusnya ingat kontestasi pilwali adalah untuk rakyat,” kata Abdul Malik. Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Novli Bernardo mengatakan, rakyat adalah kunci netralitas. ”Partisipasi masyarakat kunci penting netralitas pilwali. Ketika argumentasi hukum dipertanyakan, harusnya rakyat bisa memahami siapa yang benar dan salah,” papar Novli. Namun, Novli menunjukkan bukti yang menggambarkan Wali Kota Tri Rismaharini tidak netral dan cenderung berpihak ke paslon Eri Cahyadi-Armuji dalam Pilwali Surabaya. "Penggunaan Taman Harmoni sebagai tempat mempersembahkan rekom itu sudah nyata bahwa Bu Risma tidak netral," kata Novli memberi contoh. Menurutnya, selama ini Risma sebagai Wali Kota Surabaya melakukan perbuatan atau kebijakan yang menguntungkan calon Eri Cahyadi dan Armuji. Termasuk pembiaran terhadap pemasangan gambar Risma di baliho Eri-Armuji. Hal ini sudah bertentangan dengan pasal 71 ayat 3 Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya, dan Wali Kota dan Wakilnya. "Wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, sejak enam bulan sebelum penetapan penetapan calon," ungkapnya. (fin)