JAKARTA, Beritalima.com– Pandemi Covid-19 saat ini telah menyebabkan krisis global berlarut dunia, termasuk di Indonesia sehingga menimbulkan jurang resesi ekonomi. Berbagai negara menggunakan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan ketahanan ekonomi mereka.
Amerika Serikat (AS) dan China menggunakan Modern Monetary Theory (MMT) dimana teori itu tidak mengindahkan seberapa banyak utang negara selama utang tidak menimbulkan inflasi dalam perekonomiannya.
“Teori MMT ini mengatakan pemerintah dapat mencetak uang sendiri untuk membiayai pembangunannya sehingga akan mengakumulasi utang yang besar dan itu tidak bermasalah,” kata pengamat kebijakan publik Narasi Institute Ahmad Nur Hidayat dalam keterangan kepada awak media, Minggu (9/8).
Menurut Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini, teori MMT itu dapat bekerja untuk jangka pendek, tapi tidak akan bekerja di jangka menengah dan panjang.
Teori tersebut, lanjut dia, saat ini dijalankan AS, China, Uni Eropa dan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRIC), lima negara yang pertumbuhan ekonominya pesat, agar terhindar dari krisis global.
“MMT adalah konsep unlimited growth of money (pertumbuhan uang yang tidak terbatas) yang berbahaya, karena bila semua negara melakukan hal yang sama, fiat money system akan collapse dan akhirnya uang yang dijamin negara tidak lagi dipercaya,” kata dia.
Orang akan mempercayai commodity based on money (uang berbasis komoditas) yang akan mempercepat polarisasi dunia menjadi negara kaya sumber daya/produksi versus negara miskin sumber daya/produksi.
Hancurnya fiat money system (sistem keuangan fiat) dan mengemukanya commodity based on money akan melahirkan perebutan sumber daya antar bangsa yang akhirnya mengancam peradaban dunia.
Fiat money sistem adalah uang yang nilainya berasal dari regulasi atau hukum pemerintah. Uang ini berbeda dengan uang komoditas yang didasarkan pada barang, yang biasanya merupakan logam mulia seperti emas atau perak.
“Jadi teori MMT tersebut tidak tepat untuk Indonesia, makanya kita tidak boleh main-main dengan stabilitas keuangan saat ini karena akhirnya membuat distabilitas yang lebih besar,” kata laki-laki yang akrab disapa Madnur ini.
Dia melihat indikasi kepentingan sektoral menguat daripada nasional dalam upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bank Indonesia misalnya, meminta bunga pasar untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dengan alasan untuk kesehatan Neraca BI di masa depan.
Sementara neraca ekonomi makro Indonesia sudah berada di ujung tanduk. “BI tidak boleh memikirkan ego institusinya sendiri begitu juga otoritas jasa keuangan, LPS dan Forum KSSK,” kata dia.
Madnur menilai, semua alternatif pembiayaan untuk PEN dibuka dan diperlukan juga kemampuan negosiasi yield/coupon dari SBN yang ditawarkan agar beban pemerintah 10-20 tahun yang akan datang tidak memberatkan.
“Saya kira sekarang saatnya kreativitas tim ekonomi ditunjukan melalui solusi dan kreativitas jitu dengan merangkul semua negara tidak hanya Barat, tapi dunia timur dan timur tengah untuk alternatif pembiayaan PEN,” ujar di.
Dalam mengatasi resesi ekonomi saat ini, kata Madnur, diperlukan solusi pendanaan yang diperlukan untuk bisa mempersingkat resesi Indonesia (how to shorten Indonesia recession) adalah penyelamatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) diatas penyelamatan korporasi besar.
Selain itu juga mempercepat belanja negara diatas belanja masyarakat dan rumah tangga. Kemudian revisi PP No: 23/2020 tentang Bank Jangkar dan mengembalikan fungsi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebagai ultimate institution (institusi utama) penyelamatan ekonomi.
KSSK yang diketuai Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ini merupakan wadah tim ekonomi terbaik Indonesia dimana anggotanya adalah Gubernur BI, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dan, Kementerian Keuangan harus menjadi yang terdepan dalam memulihkan ekonomi.
“Kewenangan KSSK yang besar harus disertai juga penerapan tata kelola yang baik untuk menghindari resiko hukum yang terjadi dari kebijakan yang diambil,” kata MadNur
Partai Gelora Indonesia melihat, semua alternatif untuk pembiayaan PEN diperlukan dalam arti ekspansi neraca bank sentral untuk kepentingan nasional.
“Ekonomi bangsa kita ini dapat pulih bila semua mengedepankan kepentingan nasionalnya bukan kepentingan sektoral, regional ataupun kelompok bisnisnya sendiri,” demikian Ahmad Nur Hidayat. (akhir)