SURABAYA, Beritalima.com-
Fadina Zahra, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menjalani program MBKM MSIB di Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia.
Dua bulan menjalani MSIB di markas KBRI Australia yang berlokasi di Canberra itu, mahasiswi yang akrab disapa Fadina ini mendapatkan begitu banyak pengalaman.
Dia berkesempatan mengajar bahasa Indonesia di St. Clare’s of Assisi Primary School (Sekolah Dasar) di Canberra.
Selain itu, dia juga mendampingi kunjungan sekolah-sekolah, universitas, instansi, dan lembaga lain yang memiliki ikatan kerja sama dengan Indonesia.
Pengalaman jurnalistik yang didapatkan saat di Unesa sangat membantu tugas-tugasnya di sana. Misalnya, saat ada kunjungan di KBRI, dia menulis siaran pers untuk kegiatan itu.
Selain itu, juga belajar lebih luas tentang bagaimana diplomasi antar-kedua negara bisa terlaksana lewat sebuah MoU.
Sejak SD, Fadina mengaku bercita-cita menjadi guru bahasa Indonesia. Dia sangat gemar belajar bahasa Indonesia.
“Mimpi itu jadi nyata, bahkan bisa mengajar bahasa Indonesia di Australia!,” ungkapnya.
Selama mengajar, dia memberikan pengajaran tentang bahasa dan budaya Indonesia. Karena lahir di lingkungan Jawa, dia mengenalkan budaya Jawa seperti baju tradisional, lagu Jawa, dan membuat batik untuk para siswa.
“Yang saya suka di sana itu sistem pembelajarannya. Setiap pergantian mapel, ada jam istirahat. Menurut saya, itu membawa pengaruh yang baik bagi mereka sehingga gampang nerima materi,” terangnya.
Bagi Fadina, hal paling berkesan baginya adalah ketika malam sastra. Acara yang diagendakan KBRI dengan komunitas Balai Budaya dan Bahasa di ACT Canberra ini membahas buku dengan penulisnya.
Saat itu, dia berkesempatan berdiskusi langsung dengan Leila S Chudori tentang buku ‘Namaku Alam’ dan ‘Laut Bercerita’, juga dengan penulis buku ‘Tjong’, Herry Gendut Janarto.
Pada acara ini bukan hanya diskusi, tetapi makanan yang disuguhkan juga sesuai dengan yang disebutkan dalam buku.
“Jadi waktu makan, kita tahu apa sejarah dan arti makanan itu. Sastra dan makanan memang dua hal yang cocok untuk dipadukan,” tambahnya.
Suasana malam di Australia yang berbeda dengan Indonesia membuat Fadina sempat kaget sekaligus terpesona. Pukul lima sore, kompleks pertokoan dan mal sudah mulai tutup beriringan.
“Sangat sepi dan terlihat tentram, bak menjalani hidup dalam sinema,” bebernya.
Masyarakat lokal di sana, meluangkan waktu dengan piknik, olahraga, jalan kaki, dan bersepeda di sore hari. Karena itu, selama di sana, dia kerap berusaha mengadopsi kebiasaan tersebut dengan banyak jalan kaki, ditambah lagi fasilitas pedestrian sangat memadai.
“Paling terkesan dengan budaya mereka yang benar-benar menghargai waktu mereka. Saatnya kerja ya kerja, kalau selesai ya istirahat. Mereka sangat mengerti kebutuhan,” tuturnya.
Pengalaman magang di Ausralia itu, membuat Fadina semakin termotivasi untuk membagikan pengalaman itu di Indonesia, baik lingkungan kampus maupun rumahnya.
Baginya, pelajaran paling berharga adalah menghargai waktu. Di sana, sangat jarang ada kata terlambat.
Sekolah-sekolah di Australia sangat peduli bagi penyandang disabilitas. Pihak sekolah sangat menghargai privasi anak didiknya. Pengambilan foto tidak boleh sembarangan dilakukan dan harus meminta izin terlebih dahulu. Selain itu, budaya membaca juga luar biasa.(Yul)