Mahasiswa Dan Aktivitas Pergerakan Sudah Saatnya Kritik Jokowi

  • Whatsapp

Oleh: Dikson Ringo *)

Covid-19 memang terbukti mampu membombardir semua sektor kehidupan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Pandemik bahkan mampu membuat pemerintahan Presiden Jokowi tampak tidak kredibel dalam mengelola penanganan korban dan dampak wabah dan bencana biologis ini.

Tampak nyata dalam pemberitaan, pemerintahan Jokowi tidak terkoordinasi dengan baik. Gubernur DKI Jakarta berani berbeda sikap dan tindakan dengan pemerintah pusat, antar menteri dan kementerian hingga non kementerian beda kebijakan dalam penanganan Covid-19.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun mengalami relaksasi, pertimbangan ekonomi penanda lebih penting dibanding penanganan aspek kesehatan. Buktinya bandara akhirnya dibuka untuk penerbangan komersil, dan gagallah upaya menjaga jarak untuk mengendalikan penyebaran virus. Sementara warga bersabar hingga merasa bosan dan stres demi tetap berada di rumah.

Inkonsistensi sikap pemerintah akhirnya ditiru, rumah makan waralaba Mc. Donald Sarinah membuat pesta perpisahan yang dihadiri ratusan orang. Mereka berkumpul mengabaikan kebijakan jaga jarak dan pembatasan sosial demi kenangan masa lalu dan menganggap bahaya virus ternyata tidak menakutkan bagi mereka. Anehnya, pelanggaran itu cuma bayar denda Rp 10 juta.

Hal terbaru, iuran BPJS Kesehatan akhir tahun lalu dinaikkan walau Mahkamah Agung telah membatalkannya. Jokowi menaikkannya kembali dengan meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres tersebut menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.

Kebijakan Pemerintahan Jokowi yang tidak menghargai wewenang lembaga yudikatif yang dilaksanakan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Hal ini berpotensi melanggar prinsip demokrasi, dimana eksekutif harus menghargai pembagian peran kekuasaan dalam sistem republik. Bahkan Komisi IX DPR RI belum menyetujui menaikkan kembali iuran BPJS apalagi kini warga alami kesusahan hidup menghadapi Covid-19.

Presiden Jokowi tidak pernah menjadi aktivis pergerakan, bisa dipahami pasti kurang memahami sejarah pergerakan di Indonesia (Pergerakan 1908, 1926/1928, 1945, 1966, 1974, 1984 hingga 1998). Apalagi Jokowi dikelilingi generasi milenial yang pintar secara kognisi tapi miskin afeksi. Staf khusus pajangan itu pasti tidak akan mampu mencium aroma kesusahan rakyat yang terancam kelaparan karena Covid-19.

Saatnya aktivis pergerakan memberi sinyal agar Jokowi memahami bahwa politik republik ini selalu menemukan momentumnya saat rakyat semakin terjepit. Karena mahasiswa dan aktivis pergerakan adalah suara teriakan dan kemarahan rakyat. Indonesia adalah negara kerakyatan dan negara hukum bukan negara kekuasaan.

*) Pemerhati Kekuasaan/Jabatan, Ketua DPP KNPI Bid. Poldagri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait