SURABAYA, Beritalima.com-
Salah satu upaya mencapai target Net Zero Emission pada 2060 adalah melalui transisi energi listrik konvensional menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).
Mendukung upaya tersebut, tim mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas alternatif fuel cell menggunakan membran ekstrak bulu bebek yang ramah lingkungan.
Ketua tim penelitian Muhammad menyampaikan bahwa upaya penurunan emisi karbon di Indonesia masih belum optimal. Hal itu dibuktikan dengan capaian penggunaan EBT yang masih mencapai 12,7 giga watt (GW) dari total kapasitas listrik sebesar 84,4 GW pada 2023.
“Hal itu disebabkan salah satunya karena penggunaan energi listrik dalam fuel cell yang tidak ramah lingkungan,” ujar pemuda asal Kota Bengkulu itu.
Mahasiswa Departemen Fisika ITS itu menambahkan, komponen dalam fuel cell konvensional masih menggunakan membran Nafion yang tidak ramah lingkungan.
Membran Nafion mengandung material yang sangat stabil secara kimia sehingga tidak mudah terurai.
“Limbah Nafion yang tidak dikelola dengan baik dapat mencemari lingkungan,” ungkap pemuda yang akrab disapa Mamat itu.
Turut mengakselerasi ketercapaian target EBT, tim yang bernama Quack Cell itu menggagas inovasi Proton Exchange Membrane Fuel Cells (PEMFCs) menggunakan ekstrak keratin dari bulu bebek.
Mamat menjelaskan, dalam prosesnya, timnya mengubah membran ekstrak keratin bulu bebek yang kaya sustain menjadi asam sulfonat.
“Hal itu dapat meningkatkan konduktivitas proton menjadi membran yang ramah lingkungan,” paparnya.
Tim yang juga beranggotakan Oktab Bahar Rahmadani, Diah Suci Lestari, Melyana Putri Tiyarno, dan Indah Dwi Sasmitaningrum tersebut mengawali penelitiannya dengan tahap ekstraksi keratin bulu bebek yang telah dihaluskan.
Proses ini melibatkan metode hidrolisis asam basah untuk mendapatkan ekstrak keratin yang lebih banyak.
Lebih lanjut, alumnus SMAN 1 Kota Bengkulu itu menerangkan, dari ekstrak bulu bebek tersebut dilakukan pembuatan membran dengan menambahkan Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) dan gliserol.
Selanjutnya, membran harus melalui tahap percetakan dan pemanasan pada suhu 90 derajat celsius selama satu jam.
“Proses ini untuk menghasilkan membran transmitter energi listrik pada fuel cell,” imbuhnya.
Menelaah berbagai penelitian yang telah ada, tim yang melakukan riset di Laboratorium Fisika Material Departemen Fisika ITS ini menemukan bahwa penerapan membran dari limbah bulu bebek ini mengandung keratin yang lebih banyak dan mudah ditemukan.
Selain itu, membran ini juga memiliki sifat hidrofobisitas yang tidak menyerap air.
“Sehingga pada saat proses pemanasannya tidak memerlukan suhu tinggi,” ujarnya.
Guna memastikan keabsahan, tim yang dibimbing oleh Retno Asih MSi PhD ini melewati pengecekan karakterisasi material. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan pengujian impedansi untuk mengukur resistensi pada sistem kelistrikan.
Dari hasil pengujian tersebut, diketahui bahwa membran yang dihasilkan memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan keratin kering.
Berkat kerja keras dan kegigihan dari seluruh anggota tim, penelitian ini juga telah berhasil memperoleh medali perak dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) kategori Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Eksakta (PKM-RE) 2024, beberapa waktu lalu.
Di akhir, mahasiswa kelahiran Jakarta itu berharap agar lebih banyak mahasiswa yang membuka mata terhadap potensi EBT di Indonesia.(Yul)