JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin menilai, DPD RI belum diberikan porsi yang sesuai sebagai lembaga perwakilan daerah. Selama ini DPD RI hanya menjadi etalase politik. Sebab itu, fungsi DPD RI harus dioptimalkan.
Senator dari Dapil Provinsi Kalimantan Timur tersebut mengatakan, cita-cita besar bangsa Indonesia adalah membangun parlemen yang kuat dan efektif. Namun cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api. Banyak negara besar yang juga melaksanakan sistem parlemen dua kamar, tapi mereka benar-benar menjalankannya secara konsisten.
“Kita juga punya dua kamar. Namun, faktanya DPD RI ini belum diberikan porsi yang seharusnya. Jadi, hanya semacam etalase politik semata. Itu yang perlu dipikirkan bagaimana mengoptimalkan fungsi DPD RI untuk membangun sistem parlemen yang efektif,” kata dia.
Itu dikatakan politisi senior ini dalam acara executive brief dengan tema ‘Membangun Sistem Bikameral yang Efektif’ di DPD RI (26/8). Acara ini juga menghadirkan Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Siti Zuhro serta Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Mahyudin menjelaskan, tidak seharusnya kekuatan parlemen didominasi partai politik (parpol) saja. Harus ada kekuatan lain sebagai penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan negara.
Misalnya DPD RI yang merupakan perwakilan dari wilayah atau teritorial. Sedangkan DPR sebagai kumpulan dari fraksi-fraksi yang notabene adalah mewakili Parpol. Jika terlalu kuat akhirnya yang muncul adalah oligarki.
“Saat melakukan amandemen ketiga terhadap UUD 1945, sebenarnya kala itu kita sudah memilih sistem bikameral, maka harusnya dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah,” ucap Mahyudin.
Namun, menurut Mahyudin faktanya, praktik bikameral di Indonesia sangat lemah untuk memenuhi hasrat demokrasi.
“Sayang lembaga negara yang bagus, diisi orang-orang yang cerdas, tapi lembaga ini tidak diberdayakan dalam rangka membangun Indonesia yang lebih baik.”
Siti Zuhro mengatakan, sistem bikameral di Indonesia mulanya bertujuan memperkuat kedudukan pemerintahan daerah dan/atau rakyat di daerah dalam proses legislasi di tingkat pusat. Sistem ini bertujuan melindungi daerah yang penduduknya sedikit dari dominasi daerah yang berpenduduk banyak.
Namun, dalam prakteknya terjadi semacam subordinasi yang dilakukan DPR RI terhadap DPD RI sehingga eksistensi dan kewenangan DPD RI yang diamanatkan konstitusi seakan-akan tidak dianggap.
Implikasi dari minimnya kewenangan DPD RI bukan hanya berpengaruh kepada tumpulnya power anggota DPD RI, tetapi juga terhadap institusi DPD RI.
“Betul apa yang dikatakan pak Mahyudin, akhirnya DPD RI cuma menjadi etalase politik, seakan-akan kita sudah melaksanakan sistem bikameral yang punya mekanisme check&balances, padahal tidak,” demikian Prof Dr Siti Zuhro. (akhir)