Makan Bergizi Gratis: Mimpi Baik yang Tak Boleh Gagal

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

Opini, beritalima.com | Makan Bergizi Gratis (MBG) tampaknya bukan sekadar program politik dari Presiden Prabowo Subianto. Ia lahir dari komitmen nurani yang dalam—dari seorang pemimpin yang ingin mewujudkan mimpi besar: agar setiap anak Indonesia, dari pelosok desa hingga lorong-lorong kota, bisa makan makanan bergizi secara layak.

Untuk impian ini, Prabowo bahkan pernah menyampaikan doa secara khusus, memohon kepada Tuhan agar sebelum nyawanya dicabut, ia diberi kesempatan memimpin bangsa dan dapat memberi makan anak-anak Indonesia. Ia menyadari bahwa urusan makan dengan standar gizi yang memadai masih menjadi luka lama yang belum sembuh di negeri ini. Di banyak desa, anak-anak hanya makan seadanya.

Lebih menyedihkan lagi, di kota-kota besar, anak-anak dari keluarga miskin atau pengais sampah harus mencari sisa makanan demi bertahan hidup. Ironisnya, di sisi lain, restoran mewah dan rumah-rumah elite menyajikan makanan berlimpah setiap hari. Ketimpangan ini sangat mencolok dan tidak bisa terus dibiarkan.

Selama ini, inisiatif makan gratis memang sudah dilakukan oleh sebagian orang atau organisasi masyarakat. Namun sifatnya sangat terbatas, sporadis, dan tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan. Padahal, negara punya kapasitas dan kekuatan anggaran untuk menjadikan ini sebagai kebijakan nasional yang sistematis dan berkelanjutan.

Maka MBG pun hadir sebagai jawaban atas kesenjangan itu. Sayangnya, di tengah pelaksanaan, program ini mulai menuai kritik tajam. Dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme mencuat ke permukaan. Bahkan, sejumlah kasus keracunan siswa akibat makanan yang tidak layak konsumsi menjadi sorotan luas. Semua ini menjadi “peluru” bagi lawan-lawan politik yang sejak awal menentang program ini.

Namun kita harus jernih melihat persoalan ini. Kesalahan teknis dalam pelaksanaan, bahkan penyimpangan oknum, tidak berarti programnya harus dihentikan. Ini justru menunjukkan bahwa MBG butuh pembenahan manajemen secara menyeluruh, bukan pembatalan.

Kita sedang berbicara tentang masa depan anak-anak Indonesia. Tentang hak dasar untuk hidup sehat, berkembang cerdas, dan tumbuh dengan tubuh yang kuat. Membiarkan program ini gagal karena buruknya manajemen, sama saja dengan membiarkan anak-anak bangsa kehilangan peluang untuk masa depan yang lebih baik hanya karena urusan makan yang memang masih menjadi persoalan bagi sebagian besar rakyat.

Landasan Konstitusional

Secara hukum, MBG punya dasar yang sangat kuat dalam konstitusi kita. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Begitu pula Pasal 34 ayat (1) menyebutkan:

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Ini artinya, program MBG bukanlah sebuah “tambahan” atau “kebaikan hati” pemerintah, tapi merupakan amanat konstitusi yang wajib dijalankan oleh negara. Memberikan makanan bergizi kepada anak-anak—terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu—bukan hanya kebijakan politis, melainkan kewajiban konstitusional.

Landasan Religius: Pesan dalam Surat Al-Ma’un

Lebih dari sekadar legalitas, program MBG juga sejalan dengan nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam ajaran agama, khususnya Islam. Dalam Surat Al-Ma’un, Allah SWT mengingatkan dengan sangat keras kepada mereka yang mengabaikan urusan orang miskin dan anak yatim:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1–3)

Ayat ini tidak hanya berbicara soal ibadah ritual, tetapi juga menegaskan bahwa keimanan seseorang akan dipertanyakan bila ia tidak peduli terhadap kelaparan di sekelilingnya. Memberi makan orang miskin, anak-anak terlantar, dan mereka yang tak mampu bukan hanya bentuk kepedulian sosial, tapi manifestasi nyata dari keimanan itu sendiri.

Maka program MBG tidak hanya berdiri di atas logika pembangunan atau konstitusi negara, tetapi juga berdiri kokoh di atas nilai moral dan keimanan yang luhur.

Perlu Pembenahan, Bukan Dihentikan

Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah serius untuk melakukan perbaikan. Audit menyeluruh perlu dilakukan. Mekanisme pengawasan harus diperketat. Libatkan ahli gizi, lembaga pengawasan independen, organisasi sipil, bahkan masyarakat lokal dalam sistem pelaksanaannya. Jadikan MBG sebagai program yang bukan hanya besar di anggaran, tapi besar juga dampaknya. Dan kita, sebagai masyarakat, jangan hanya menjadi penonton atau pengkritik. Kita punya peran untuk terus mengawal, menyuarakan kebenaran, dan mendukung arah kebijakan yang memang berpihak pada rakyat kecil. Karena MBG sejatinya bukan hanya milik pemerintah atau satu tokoh politik—ini adalah hak anak-anak kita semua.

Anak yang berhak atas MBG bukan hanya anak-anak dari pendukung pemerintah, tetapi semua anak Indonesia tanpa kecuali. Tidak boleh ada politisasi dalam kebutuhan dasar seperti makanan. Tidak boleh ada diskriminasi dalam hak untuk sehat dan tumbuh kuat.

Jika program ini berhasil dibenahi dan dikelola dengan akuntabilitas tinggi, maka MBG bisa menjadi warisan berharga. Warisan bukan dalam bentuk infrastruktur fisik, tetapi dalam bentuk generasi unggul yang kuat, sehat, dan siap bersaing di masa depan. Maka, biarlah MBG terus berjalan. Jangan dihentikan. Tapi benahi, awasi, dan pastikan tujuannya benar-benar tercapai. Karena mimpi besar seperti ini tidak boleh gagal—bukan hanya karena ini mimpi Prabowo, tapi karena ini mimpi kita semua sebagai bangsa. Oleh karena itu, TNI/Polri, pemerintah setempat, dan masyarakat harus ikut memastikan pelaksanaan program MBG di lapangan agar benar-benar sukses, bukan justru dijadikan senjata politik menyerang pemerintah.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait