Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Ada persepsi, bahwa orang yang berkurban tidak layak meminta lagi sebagian dagingnya. Mereka pun mengumpamakan orang yang demikian seperti orang yang telah memberikan sesesutu kepada orang lain lantas memintanya kembali. Dari anggapan demikian, orang yang berkurban dan masih minta bagian kepada panitia sering menjadi gunjingan sebagian orang awam. Oleh sebab itu berikut ada baiknya dikemukakan pendapat salah seorang Imam Madzhab mengenai hal ini.
Hukum Makan Daging Kurban
Seorang pakar fikih kontemporer Prof.Dr. Wahbah Az Zuahaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, secara panjang lebar menulis berbagai pandangan para ulama 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) mengenai hal tersebut. Untuk konteks Indonesia, oleh karena mayoritas bermadzhab Syafi’i dalam tulisan ini oleh penulis sengaja hanya dikutip pandangan madzhab Syafi’i.
Sebagaimana ditulis dalam Al Fiqh Al Islami tentang hukum makan daging kurban, madzhab Syafi’i berpendapat, bahwa dalam hal kurban yang berstatus waiib, seperti yang disebabkan nadzar atau hewan yang sudah ditetapkan sebagai kurban, maka dagingnya “tidak boleh dimakan oleh si pemilik kurban” maupun pihak-pihak lain yang berada di bawah tanggungannya. Sebaliknya, diwajibkan kepada orang itu menyedekahkan seluruh dagingnya. Apabila hewan yang telah ditetapkan sebagai kurban itu tiba-tiba melahirkan anak, maka anaknya itu harus ikut disembelih seperti induknya. Namun, dibolehkan bagi si pemilik kurban memakan daging si anak hewan, sebagaimana kebolehan baginya meminum susu si induk hewan. Alasannya adalah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adanya kebolehan bagi si pemilik kurban meminum air susu si induk hewan yang berlebih dari yang diperuntukkan bagi anaknya, namun hukumnya makruh.
Adapun dalam hal kurban yang bersifat sunnah, maka dianjurkan bagi si pemilik kurban, turut memakan beberapa potong daging hewan itu, dalam rangka mendapatkan berkah dari kurban yang ia lakukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Surat Al Hajj ayat 28 (terjemahnya):
“… Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orangorang yang sengsqra dan fakir.”
Di samping itu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Baihaqi disebutkan, bahwa Rasulullah saw juga pernah memakan hati hewan yang beliau kurbankan. Hukum memakan daging hewan itu sendiri tidak wajib, seperti juga menurut pendapat madzhab Zahiri yang berpegang pada zahir lafal ayat, dikarenakan pada ayat lain Allah SWT berfirman:
“Dan unta-unta itu Kami iadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah….” (al-Haii: 36)
Dalam ayat ini Allah SWT menjadikannya sebagai tanda bagi kita, umat manusia, sementara hal-hal yang diperuntukkan untuk manusia hukumnya adalah kebolehan untuk memilih antara tidak memakannya atau memakannya. Dalam kondisi ini juga, si pemilik kurban boleh memberikan daging kurban itu kepada seorang yang kaya, yaitu dengan pemberian dalam bentuk hadiah. Akan tetapi, tidak boleh baginya menjualnya kepada si orang kaya atau melakukan tindakan lain yang menjadikan orang kaya itu memiliki secara penuh daging tersebut.
Kadar Kebolehan
Dalam hal memakan daging kurban tersebut, menurut “qaul jadid” (pendapat yang baru) dalam madzhab Syafi’i, si pemilik dibolehkan memakan sepertiga dari kurbannya itu. Sementara dalam “qaul qadim”, disebutkan bahwa si pemilik boleh memakan setengahnya sementara yang setengah lagi disedekahkan. Selanjutnya, menurut pendapat yang lebih kuat dalam madzhab, wajib hukumnya menyedekahkan bagian tertentu dari daging kurban kepada orang miskin, walaupun hanya pada satu orang, juga sekalipun yang disedekahkan itu hanya sedikit (yaitu dalam kadar di mana orang yang berkurban itu sudah dapat dikatakan menyedekahkan daging). Akan tetapi, yang lebih utama baginya adalah menyedekahkan seluruh daging, kecuali beberapa potong yang boleh ia makan dalam rangka mendapatkan berkah berkurban, seperti telah dijelaskan di atas.
Kulit Hewan Kurban
Dalam kurban yang bersifat sukarela ini pula, si pemilik kurban boleh menyedekahkan kulit hewan itu kepada orang lain, atau memanfaatkannya sendiri, sebagaimana dibolehkan baginya memakan sendiri daging kurbannya, walaupun menyedekahkannya lebih utama. Adapun dalam hal kurbannya tersebut bersifat wajib, maka wajib pula bagi orang itu menyedekahkan kulitnya. Selanjutnya, tidak dibolehkan baginya memindahkan daging kurban itu dari negerinya ke negeri lain, yang jaraknya sejauh perjalanan yang telah membolehkan orang mengqashar shalat. Sama halnya dengan hukum yang berlaku dalam masalah pemindahan zakat seseorang ke luar negeri tempat ia bermukim.
Kesimpulan
Dari uraian tentang hukum makan daging kurban sendiri menurut madzhab Syafi’i ini, setidaknya dapat disimpulkan 3 hal:
1. Tidak dibolehkan makan sama sekali, jika kurban yang dilaksanakan merupakan kurban wajib, seperti karena nadzar.
2. Meskipun kurban wajib, jika hewan yang dijadikan kurban tersebut tiba-tiba melahirkan anak, setelah anak hewan tersebut disembelih, yang berkurban dibolehkan memakan daging si anak hewan tersebut.
3. Dibolehkan makan, bahkan dipandang sebagai upaya mencari berkah, jika kurban yang dilaksanakan merupakan kurban sunat.
Sekian, wallahu a’lam.