Makna Ibukota Negara Kita Hijrah ke Kalimantan Timur

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH

beritalima.com | HARI ini hari Ahad, tanggal 1 September 2019, merupakan hari pertama Tahun Baru 1441 Hijriah. Tanggal 1 Muharam 1441, itu sebagai bulan pertama penanggalan Hijriah yang digunakan umat Islam. Penetapan perhitungan hari dan bulan pada tahun Hijriah, sangat erat kaitannya dengan beberapa kegiatan ritual keagamaan Islam.

Hijrah atau Hijriah itu artinya “pindah”, migrasi atau merantau. Yaitu saat “Pemimpin Umat Islam: Nabi Muhammad Salalallahu Alaihi Wassalam (SAW) pindah dari Kota Mekah ke Kota Yasrib (kemudian menjadi Madinah).

Nah, saat ini, kita di Indonesia, sedang ramai membicarakan rencana “Kepindahan Ibukota Negara Republik Indonesia (RI)” dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Apakah ada hubungan antara “hijrah” pemimpin umat Islam dengan “kepindahan ibukota negara RI” itu? Tentu tidak. Kendati demikian, ada hikmah dari makna hijrah dengan pindah tersebut.

Selama ini kita ketahui, bahwa penetapan tahun baru Islam yang disebut Tahun Hijrah atau Hijriah itu, juga ada kaitannya dengan penetapan prosesi atau ritual ibadah.

Perhitungan Tahun Hijriah atau Hijrah ini tidak sama dengan dengan Tahun Masehi yang penanggalannya didasarkan pada perputaran matahari. Perhitungan Tahun Hijriah, merujuk kepada perputaran bulan. Tiap tahun ada perbedaan jumlah hari dalam setahun antara Tahun Masehi dengan Tahun Hijriah. Waktu pada Tahun Hijriah lebih pendek 11 hari dibanding Tahun Masehi. Bisa kita lihat pada almanak Tahun 2018 dengan Tahun 2019. Tanggal 1 Muharam 1440 Hijriah tahun lalu, jatuh pada tanggal 11 September 2018 dan sekarang tanggal 1 September 2019.

Tahun baru Hijriah sebagai Tahun Baru Islam ditetapkan berdasarkan pada hari pertama Nabi Muhammad SAW “hijrah” atau pindah dari Kota Mekah ke Madinah. Tepatnya tanggal 17 Juni 622 Masehi. Penetapan penanggalan Hijrah atau Hijriah (H) itu baru 17 tahun kemudian, yakni tahun 639 M. Ini dicetuskan oleh Ali bin Abi Thalib.

Peristiwa hijrah itu dianggap sebagai peristiwa “istimewa” bagi para sahabat Nabi Muhammad waktu itu. Sehingga dijadikan awal penetapan Tahun Baru. Memang, kalau dikaji sejarahnya, peristiwa Hijrah atau pindah atau migrasi, rombongan Nabi Muhammad itu merupakan peristiwa yang tidak terlupakan bagi Umat Islam.

Pada tanggal 1 Muharam Tahun 01, yang bertepatan dengan 17 Juni 622 M, itulah hari keberangkatan Nabi Muhammad pergi “merantau” — meninggalkan kampung halamannya.

Berpindah domisili dari Mekah ke Yasrib. Jadi, kata hijrah itu sama dengan merantau. Dalam kamus Bahasa Indonesia, merantau disebut “pergi meninggalkan kampung halaman ke negeri orang lain”. Untuk apa dan mengapa orang merantau?
Salah satu contoh, pada budaya masyarakat Minang atau Minangkabau. Sukubangsa yang berada di Sumatera Barat sekitarnya atau dulu Sumatera Tengah, seolah-olah mewajibkan anak muda pergi merantau. Ada pepatah yang berbunyi: “karatau madang di hulu, babuah babungo balun — marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun”.

Artinya: diharuskan anak muda atau yang bujangan pergi merantau lebih dahulu, karena di rumah (di kampung halaman) belum berguna. Maksudnya, belum berguna, karena belum punya keahlian, ilmu, kemampuan dan kekayaan. Sehingga diharuskan menuntut ilmu dan mencari bekal hidup di tempat lain di negeri orang.

Mengapa harus merantau? Karena di kampung halaman, pusat pendidikan untuk menuntut ilmu masih kurang dan untuk mencari kekayaan masih terbatas. Atau mungkin juga merasa kurang aman dan nyaman, kalau kehidupan hanya bergantung kepada keluarga.

Maka kepada anak muda yang merantau itupun dipesankan, agar bisa mandiri. Ada pantunnya: “ikan beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu — kawan cari sanak dicari, induk semang cari dahulu”. Jadi, kepada anak muda yang pergi merantau, dipesankan agar di negeri urang nanti, memang perlu mencari teman dan sanak saudara (keluarga), tetapi induk semang, yakni orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan di dekati dahulu untuk belajar dan magang. Sehingga belajar, magang atau “ngenger” (bahasa Jawa) untuk memperoleh ilmu dan keahlian lebih dahulu.
Lho, mengapa kok magang dianjurkan kepada “induk semang” yang bukan keluarga sendiri? Memang falsafahnya demikian. Sebab secara psikologis, apabila magang kepada orang lain, jiwa kemandirian lebih cepat dibangun pada diri seseorang, dibandingkan terhadap keluarga sendiri.

Nah, kembali ke situasi saat Rasulullah akan hijrah atau merantau ke Yasrib, situasi Kota Mekah sekitar tahun 622 M, itu cukup gawat dan kacau. Ketika itu ada rencana pembunuhan terhadap Nabi Muhammad oleh kaum kafir Quraisy. Mengetahui hal itu, secara diam-diam Nabi Muhammad bersama sahabatnya Abu Bakar, pergi meninggalkan Kota Mekah. Nabi Muhammad bersama para sahabat dan pengikutnya pindah atau hijrah ke Kota Yasrib yang jaraknya 320 kilometer di utara Kota Mekah.
Hijrah atau pindah yang disebut “merantau” ke Yasrib itu, merupakan kadaan darurat dan “terpaksa” yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan Umat Islam waktu itu. Rombongan nabi sebagai Muhajirin, yaitu kaum yang hijrah, disambut oleh penduduk Yasrib yang disebut kaum Anshar.

Setelah sampai di daerah perantauannya, pimpinan Umat Islam ini berhasil hidup damai dengan penduduk setempat. Bahkan, dibantu dalam berbagai kegiatan dan aktivitas penyebaran agama Islam di sana. Artinya, kehadiran pendatang baru dari Mekah ini disambut dengan senang hati oleh penduduk Kota Yasrib.

Begitu akrabnya persaudaraan antara Muhajirin dengan Anshar, sampai-sampai warga asli dengan sukarela menganugerahkan nama Nabi Muhammad, sebagai pengganti nama kota Yasrib, menjadi Madinah yang artinya: “Kota Nabi”. Kemudian ditambah lagi menjadi Madinah al Munawarah.

Jadi, peristiwa hijrah atau pindah itu sekarang layak kita kaitkan dengan rencana perpindahan kedudukan kepala pemerintahan di negara kita ini ke ibukota yang baru. Kita akan melihat makna dan perbandingan, antara “pemimpin umat” yang pindah dari Mekah ke Madinah, dengan ibukota negara Indonesia pindah dari Jakarta ke “kota yang belum punya nama” di “bekas hutan belantara” di Kalimantan Timur.

Presiden Joko Widodo secara resmi sudah mengumumkan kepindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur itu, pada hari Selasa (27/8/2019). Lokasi baru yang bakal menjadi DKI (Daerah Khusus Ibukota) sebagai pengganti DKI Jakarta Raya itu berada di dua kabupaten. Sebagian masuk wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Luas bakal ibukota yang baru itu disebutkan tiga luas DKI Jaya.

Proses hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, tentu sangat berbeda dengan perpindahan kepala negara ke ibukota yang baru. Kalau Nabi Muhammad hijrah, karena pribadi Rasulullah yang dalam keadaan terancam, sehingga mencari tempat aman. Sedangkan kepindahan ibukota negara Indonesia, karena kawasan DKI Jakarta yang terancam dari berbagai masalah. Sehingga, lokasi ibukota yang dipindah ke daerah baru yang belum dibangun, belum ramai dan belum ada kegiatan kantor pemerintahan.
Suatu hal yang berbeda adalah, kalau hijrah, nabi bersama kaum muhajirin pindah menuju kota Yasrib yang belum “dibangun”. Kota ini dibenahi dan dibangun, serta berkembang setelah nabi sebagai pemimpin umat pindah dan menetap di kota itu.
Sebaliknya, untuk kepindahan bakal ibukota negara RI, kotanya juga belum dibangun. Sehingga segala fasilitas dan utilitasnya dipersiapkan secara lengkap lebih dahulu. Baru kemudian kepala negara bersama para pejabat dan segala kelengkapan ikut pindah.

Tentu, dari makna “hijrah” dan “pindah” ini, patut kita ambil hikmahnya. Bahwa hijrah dan pindah itu, harus mempunyai arti, menuju kepada kebaikan atau “lebih baik”. Nantinya, ibukota negara RI di DKI “Yang Belum Ditetapkan Namanya” itu, harus benar-benar lebih baik dari DKI Jakarta Raya sekarang. Tidak macet, tidak banjir, tidak terancam bencana alam, tidak semrawut, dan sebagainya. Serta, harus aman, nyaman, lancar, indah, mudah dan murah, serta benar-benar layak sebagai ibukota negara. InsyaAllah. (**)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *