Makna Peristiwa Isra Mi’raj: Islam, Agama Yang Humanis

  • Whatsapp

Penulis: Dr. Lia Istifhama, M.E.I.

Dalam sebuah hadis diteraangkan:
“Aku melihat pada malam sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari es, dan lebih harum dari kasturi. Maka aku bertanya kepada Jibril: Wahai Jibril, untuk siapakah ini? Jawabnya untuk orang yang bershalawat padamu di bulan Rajab.” (Durratun Nasihin).

Bulan Rajab, salah satu bulan dari 12 bulan dalam penanggalan kalender Hijriah, dijelaskan dalam hadis tersebut sebagai bulan yang memiliki keistimewaan. Dalam bulan Rajab pula, terjadilah peristiwa besar yang menjadi salah satu tonggak sejarah peradaban manusia, yaitu dikaitkan dengan kerohanian manusia. Peristiwa tersebut yang hingga kini kita peringati sebagai peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW., tepatnya pada 27 Rajab.

Ada begitu banyak makna dan hikmah besar dari peristiwa Isra’ Mi’raj, diantaranya adalah tentang potret Islam sebagai agama Humanis.

Humanis disini adalah bagaimana Islam sangat memahami sisi kemanusiaan manusia, seperti dalam hal peribadatan, dimana manusia tidak akan bisa mencapai sisi kesempurnaan mengabdi pada Yang Maha Esa, melainkan membutuhkan keringanan dalam pencapaian kesempurnaan beribadah. Dalam sebuah hadis diterangkan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala cinta kepada orang yang mengambil rukhsah (keringanan) sebagaimana ia cinta kepada orang yang menjalankan ketentuan-ketentuan-Nya.” (HR Bukhari).

Melalui peristiwa yang mana Rasulullah SAW diperjalankan dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina), dan kemudian menuju Sidratul Muntaha tersebut, kita pun bisa menarik hikmah bahwa keringanan tersebut diberikan oleh Allah SWT dalam hal pelaksanaan sholat fardlu.

Sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra., mengisahkan awal perjalanan Rasulullah SAW dalam peristiwa 27 Rajab tahun kedelapan masa kenabiannya:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kemudian aku dibawa pergi ke Sidratulmuntaha yang dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratulmuntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Lalu Allah memberikan wahyu kepadaku. Aku diwajibkan salat lima puluh kali dalam sehari semalam.

Tatkala turun dan bertemu Nabi saw. Musa as., ia bertanya: “Apa yang telah difardukan Tuhanmu kepada umatmu?” Aku menjawab: “Salat lima puluh kali”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Aku pernah mencobanya pada Bani Israel”.

Aku pun kembali kepada Tuhanku dan berkata: “Wahai Tuhanku, berilah keringanan atas umatku. Lalu Allah mengurangi lima salat dariku.” Aku kembali kepada Nabi Musa as. dan aku katakan: “Allah telah mengurangi lima waktu salat dariku”. Dia berkata: “Umatmu masih tidak sanggup melaksanakan itu. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi”.

Tak henti-hentinya aku bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa as. sampai Allah berfirman:

“Hai Muhammad. Sesungguhnya kefardluannya adalah lima waktu salat sehari semalam. Setiap salat mempunyai nilai sepuluh. Dengan demikian, lima salat sama dengan lima puluh salat. Dan barang siapa yang berniat untuk kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, maka dicatat satu kebaikan baginya. Jika ia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya barang siapa yang berniat jahat, tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak sesuatu pun dicatat. Kalau ia jadi mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan.” (HR. Shahih Muslim No.234)

Dari Hadis tersebut, kita diperlihatkan bahwa Islam merupakan agama yang memahami situasi yang dimiliki oleh manusia, sehingga dalam hal peribadatan pun, jumlah shalat yang semula 50 kali dalam sehari, kemudian diturunkan menjadi hanya 5 kali dalam sehari. Tentu, hal tersebut menjadi hikmah besar betapa Islam sangat memahami keterbatasan manusia dalam menyempurnakan ibadahnya sehari-hari. Kemudahan sesuai dengan kemampuan manusia, merupakan identitas dalam ajaran Islam, seperti yang diterangkan dalam sebuah hadis:

“Ajarilah, permudahlah, dan jangan kamu persulit, dan gembirakanlah dan jangan kamu membuat tidak senang, dan apabila salah seorang kamu marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5480).

Akhir kata, Subhanallah, makna peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi penguat bahwa agama hadir untuk memberikan kemaslahatan dan kebaikan untuk manusia, bukan sebaliknya yang membebani manusia ataupun tidak memahami perbedaan kondisi yang dihadapi setiap manusia.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait