Makna Peristiwa Isra Mi’raj: Islam, Agama Yang Toleran

  • Whatsapp

Penulis: Dr. Lia Istifhama, M.E.I.

Dalam sebuah hadis diterangkan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala cinta kepada orang yang mengambil rukhsah (keringanan) sebagaimana ia cinta kepada orang yang menjalankan ketentuan-ketentuan-Nya.” (HR Bukhari).

Hadis tersebut memiliki relevansi kuat dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sebuah peristiwa besar yang diterangkan dalam Al-Qur’an, Surat Al-Isra’ ayat 1: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Seperti kita ketahui, Isra Mi’raj merupakan peristiwa yang mana Rasulullah SAW diperjalankan dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina), yang kemudian Rasulullah diperjalankan menuju Sidratul Muntaha yang berada pada langit ke tujuh. Peristiwa yang menjadi ketentuan perintah Shalat ini-lah yang kelak kemudian mendorong Rasulullah SAW mencari metode mengumpulkan kaum muslimin untuk menunaikan shalat di saat kaum muslimin semakin banyak dan tersebar di berbagai penjuru, yang kemudian menjadi permulaan adzan dan qamat yang diserukan oleh sahabat Bilal bin Rabbah.

Peristiwa Isra’ Mi’raj memberikan banyak hikmah, diantaranya adalah bahwa Islam agama yang toleran, disebabkan memahami kemampuan manusia atas kewajiban agama. Sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra., mengisahkan awal perjalanan Rasulullah SAW dalam peristiwa 27 Rajab tahun kedelapan masa kenabiannya:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku didatangi Buraq (kendaraan yang diibaratkan sejenis kuda gagah yang bisa terbang). Lalu aku menunggangnya sampai ke Baitul Maqdis. Aku mengikatnya pada pintu mesjid yang biasa digunakan mengikat tunggangan oleh para nabi. Kemudian aku masuk ke mesjid dan mengerjakan salat dua rakaat. Setelah aku keluar, Jibril datang membawa bejana berisi arak dan bejana berisi susu. Aku memilih susu, Jibril berkata: Engkau telah memilih fitrah.”

Lalu Jibril membawaku naik ke langit. Ketika Jibril minta dibukakan, ada yang bertanya: “Siapakah engkau?” Dijawab: “Jibril”. Ditanya lagi: “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab: “Muhammad”. Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Jawab Jibril: “Ya, ia telah diutus”. Lalu dibukakan bagi kami. Aku bertemu dengan Adam. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Kemudian aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya: Siapakah engkau? Jawab Jibril: Jibril. Ditanya lagi: Siapakah yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah ia telah diutus? Jawabnya: Dia telah diutus. Pintu pun dibuka untuk kami. Aku bertemu dengan Isa bin Maryam as. dan Yahya bin Zakaria as. Mereka berdua menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.

Aku dibawa naik ke langit ketiga. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa engkau?” Dijawab: “Jibril”. Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?”. “Muhammad”, jawabnya. Ditanyakan: “Dia telah diutus?”.

“Dia telah diutus”, jawab Jibril. Pintu dibuka untuk kami. Aku bertemu Yusuf as. Ternyata ia telah dikaruniai sebagian keindahan. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Aku dibawa naik ke langit keempat. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa ini?” Jibril menjawab: “Jibril”. Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” “Muhammad”, jawab Jibril. Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Jibril menjawab: “Dia telah diutus. Kami pun dibukakan. Ternyata di sana ada Nabi Idris as. Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan: “Allah Ta’ala berfirman: Kami mengangkatnya pada tempat (martabat) yang tinggi.”

Aku dibawa naik ke langit kelima. Jibril minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa?” Dijawab: “Jibril”. Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” Dijawab: “Muhammad”. Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Dijawab: “Dia telah diutus”. (kemudian) Kami dibukakan”.

Di sana aku bertemu Nabi Harun as. “Dia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan”. Aku dibawa naik ke langit keenam. Jibril as. minta dibukakan. Ada yang bertanya: “Siapa ini?” Jawabnya: “Jibril.” Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?”. “Muhammad”, jawab Jibril. Ditanya: “Apakah ia telah diutus?” Jawabnya: “Dia telah diutus. Kami dibukakan”. Di sana ada Nabi Musa as. Dia menyambut dan mendoakanku dengan kebaikan.

Jibril membawaku naik ke langit ketujuh. Jibril minta dibukakan. Lalu ada yang bertanya: “Siapa ini?” Jawabnya: Jibril. Ditanya lagi: “Siapa bersamamu?” Jawabnya: “Muhammad”. Ditanyakan: “Apakah ia telah diutus?” Jawabnya: “Dia telah diutus. Kami dibukakan”. Ternyata di sana aku bertemu Nabi Ibrahim as. sedang menyandarkan punggungnya pada Baitulmakmur. Ternyata setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat masuk ke Baitulmakmur dan tidak kembali lagi ke sana.

Kemudian aku dibawa pergi ke Sidratulmuntaha yang dedaunannya seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratulmuntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Lalu Allah memberikan wahyu kepadaku. Aku diwajibkan salat lima puluh kali dalam sehari semalam.

Tatkala turun dan bertemu Nabi saw. Musa as., ia bertanya: “Apa yang telah difardukan Tuhanmu kepada umatmu?” Aku menjawab: “Salat lima puluh kali”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat melaksanakannya. Aku pernah mencobanya pada Bani Israel”.

Aku pun kembali kepada Tuhanku dan berkata: “Wahai Tuhanku, berilah keringanan atas umatku. Lalu Allah mengurangi lima salat dariku.” Aku kembali kepada Nabi Musa as. dan aku katakan: “Allah telah mengurangi lima waktu salat dariku”. Dia berkata: “Umatmu masih tidak sanggup melaksanakan itu. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi”.

Tak henti-hentinya aku bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa as. sampai Allah berfirman:

“Hai Muhammad. Sesungguhnya kefardluannya adalah lima waktu salat sehari semalam. Setiap salat mempunyai nilai sepuluh. Dengan demikian, lima salat sama dengan lima puluh salat. Dan barang siapa yang berniat untuk kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, maka dicatat satu kebaikan baginya. Jika ia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya barang siapa yang berniat jahat, tetapi tidak melaksanakannya, maka tidak sesuatu pun dicatat. Kalau ia jadi mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan.” (HR. Shahih Muslim No.234)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sosok pemimpin yang sangat aspiratif dan menjadikan kemampuan umatnya sebagai landasan pertimbangan. Terlebih, pada akhirnya, Allah SWT telah berfirman bahwa sesungguhnya kefardluan shalat adalah pada lima waktu. Kemudahan sesuai dengan kemampuan manusia, merupakan identitas dalam ajaran Islam, seperti yang diterangkan dalam hadis lainnya.

“Ajarilah, permudahlah, dan jangan kamu persulit, dan gembirakanlah dan jangan kamu membuat tidak senang, dan apabila salah seorang kamu marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5480).

Dengan begitu, Islam bukanlah agama yang memberatkan, melainkan mencintai kemudahan sesuai dengan kemampuan umat. Dengan kata lain, Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menghargai karakter manusia yang berbeda-beda sehingga tidak dapat dibebankan ‘ubudiyah yang tidak sesuai kemampuan manusia pada umumnya.

Makna toleransi juga diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an, diantaranya adalah Q.S. Al Baqarah ayat 285 dan Q.S. Al Mumtahanah ayat 8.

Q.S. Al Baqarah ayat 285: “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya”.

Al Mumtahanah 8: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Dengan begitu, makna peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi penguat bahwa agama hadir untuk memberikan kemaslahatan dan kebaikan untuk manusia, bukan sebaliknya yang membebani manusia ataupun tidak memahami perbedaan kondisi yang dihadapi setiap manusia.
Subhanallah.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait