beritalima.com, — Depok, 6 April 1997. Lahirlah ke dunia seorang putri kecil bernama Bunga Limita Khalda Lilipaly. Putri kecil itu, berhasil lahir dengan sehat dan normal berkat seseorang perempuan hebat yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir IKIP Jakarta.
Ibu tersebut mempunyai panggilan Bunda. Menurut sebagian orang, arti kata bunda sendiri memang sosok pahlawan nyata yang hadir di dalam kehidupan, namun menurut Bunga, tidak cukup hanya sosok pahlawan yang pantas untuk Bunda. Melainkan? Ya, akan diberi tahu pada tulisan ini.
Bagaimana tidak? Bunda mampu melahirkan anak kedua di tengah skripsi yang sedang ia selesaikan, di samping itu pula ada si kaka. Bunda harus bisa membagi waktu antara kuliah, anak, dan juga suami.
Di kala itu Bunda mengambil jurusan kuliah pra sekolah dan dasar, dan kalau dipikir – pikir harusnya Bunda sudah sukses menjadi guru senior sekarang, bahkan profesi dosen juga pantas untuknya. Namun, Bunda rela melepas pekerjaannya dan harus menelan pil pahit segala sesuatu yang sudah diperjuangkannya selama kuliah empat tahun sia-sia karena harus mengurus anak dan suaminya. Jika aku berada di posisi Bunda, mana mungkin aku rela?
Ketika banyak orang bertanya mengapa rela menyia-nyiakan ilmu yang sudah didapat, Bunda hanya terseyum sambil berkata,
“Ya gapapa, semua ilmu itu tetap akan berguna kok untuk anak-anaku.”
Tidak sedikit hal yang aku bisa kagumi dari Bunda. Aku ingin menjadi seperti Bunda, tapi apa aku bisa?
Ketika aku sakit Bunda hanya berdoa pada Allah
“Ya Allah, angkatlah penyakit anakku ini, biarlah hamba saja yang merasakan sakitnya. Ketika melihat anak hamba sakit, sakit itu menjadi 2x lipat untukku ya Allah”
Ketika aku mendapatkan nilai jelek dan sulit melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri, Bunda hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri
“Di masa lalu, salah apa hambamu ini ya Allah? Jangan biarkan anakku yang menanggung semuanya… hamba sakit melihat mata indah yang biasanya bahagia malah diselimuti kesedihan”
Ketika kehidupan rumah tangga sedang berada di bawah, dan susah untuk memberikan makanan enak untuk untukku, Bunda hanya bisa berdoa kepada Allah
“Cukupkan apa yang membuatMu cukup untukku dan anak-anaku ya Allah..”
Orang sering membandingkan individu satu dengan individu lainnya, aku pun juga sering. Namun, untuk Bunda kurasa tidak ada pas yang berbanding dengannya. Aku mempunyai sedikit gambaran seperti apa Bundaku. Simak baik-baik ya?
Orang bilang, Luna Maya cantik tapi bundaku 1000 kali lipat lebih cantik, hanya bekal air wudhu saja ia sudah cantik. Orang bilang, coklat itu menenangkan tapi bundaku 1000 kali lipat lebih menenangkan, karena bukan hanya ketenangan yang ia berikan, melainkan pelukan, memang coklat bisa memeluk? Orang bilang Komeng itu lucu, tapi bundaku 1000 kali lipat lebih lucu. Bagaimana tidak? Bunda mampu membuatku yang tadinya tidur bisa tiba-tiba bangun hanya karena mendengarnya tertawa. Sudahlah aku tidak bisa dan memperbolehkan siapapun untuk membandingkan hal apapun dengan bundaku. Sangat jelas Bunda tidak semudah itu untuk dibandingkan dengan hal di atas. Terserah orang mau berpikir seperti apa.
Apa yang sudah bunda berikan untukku, menurutku sangat lebih dari cukup. Untukku mungkin sekarang tidak akan sanggup jika bunda hilang dari dunia ini. Yang berani menghilangkan bunda, akan berurusan denganku. Aku saja menjadi anaknya belum puas untuk berurusan dengan bunda. Mengapa mencoba menghilangkan? Jangan ya? Nanti saja. Tungguku siap.
Bunda aku mohon, jangan hilang terlebih dahulu sebelum kaupuas dengan apa yang akan kulakukan untukmu.
Bunda aku mohon, jangan hilang terlebih dahulu sebelum air matamu habis pertanda karnaku sudah membahagiakanmu.
Bunda aku mohon, janganlah puas dengan apa yang aku lakukan untukmu. Aku tidak sanggup kepuasan yang aku berikan untukmu ternyata akan membuatmu hilang dari pandanganku.
Kumohon bunda, jangan….
Umat islam mengetahui ada sepuluh malaikat yang dikenal. Seandainya diperbolehkan untuk melengkapinya menjadi sebelas malaikat, aku tidak akan berpikir lamban untuk menentukan siapa malaikat itu. Sudah dipastikan, ya bundaku.
(Penulis : Bunga Limita Khalda L, Politeknik Negeri Jakarta)