Oleh: Ikhsan Tualeka
MALUKU.bl | Di Maluku, hari-hari besar keagamaan tidak pernah sepenuhnya menjadi urusan privat antara manusia dan Tuhan. Ia selalu hadir sebagai peristiwa sosial, bahkan kultural, yang menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang siapa kita dan bagaimana seharusnya hidup bersama.
Natal dan Idulfitri, misalnya, bukan sekadar momentum ibadah bagi umat Kristiani dan Muslim, tetapi juga ruang perjumpaan lintas iman yang sarat makna. Keunikan itu tumbuh dan bertahan karena satu fondasi kuat: adat dan budaya pela-gandong yang telah mengikat orang Maluku jauh sebelum konsep toleransi modern diperkenalkan.
Secara sosiologis, apa yang terjadi di Maluku,, dapat dibaca melalui kacamata solidaritas sosial Émile Durkheim. Dalam masyarakat tradisional, Durkheim menyebut adanya solidaritas mekanik—ikatan yang terbangun dari kesamaan nilai, keyakinan, dan pengalaman hidup.
Namun Maluku, terutama dalam konteks ini di Pulau Ambon, Lease, Seram dan sekitarnya menawarkan bentuk yang lebih kompleks: solidaritas yang melampaui perbedaan agama dan identitas formal.
Pela-gandong bekerja sebagai “lem sosial” yang menautkan komunitas Muslim dan Kristen dalam satu kesadaran bersama sebagai orang basudara.
Kesadaran inilah yang membuat perayaan Natal seperti yang saat ini sementara berlangsung dan Lebaran selalu terasa sebagai milik bersama, bukan milik satu kelompok semata.
Dalam praktik keseharian, solidaritas itu tampak nyata. Di Ambon dan sejumlah negeri di Maluku Tengah, sudah menjadi pemandangan lazim ketika pemuda-pemuda Muslim kerap ikut menjaga keamanan gereja saat malam Natal. Mereka berdiri di depan rumah ibadah bukan karena perintah aparat, melainkan karena panggilan adat dan rasa persaudaraan.
Sebaliknya, saat takbir menggema dan Idul Fitri tiba, saudara-saudara Kristen mengambil peran serupa di masjid-masjid, memastikan ibadah berlangsung khusyuk dan aman. Banyak keluarga lintas iman yang saling bertukar makanan khas hari raya—kue natal, ketupat, atau sagu/papeda—sebagai simbol kasih dan persaudaraan yang hidup.
Fenomena ini juga dapat dipahami melalui konsep modal sosial yang diperkenalkan oleh Robert Putnam. Modal sosial merujuk pada jejaring, kepercayaan, dan norma yang memungkinkan masyarakat bekerja sama secara efektif.
Pela-gandong adalah bentuk modal sosial yang kuat dan khas Maluku. Ia menciptakan bonding social capital (ikatan kuat di dalam komunitas) sekaligus bridging social capital (jembatan antar komunitas berbeda).
Pada hari-hari besar keagamaan, modal sosial ini bekerja optimal: kepercayaan mengalir, prasangka ditekan, dan kerja sama tumbuh secara alamiah.
Lebih jauh, pela-gandong juga mencerminkan apa yang oleh Jürgen Habermas disebut sebagai ruang publik komunikatif. Di ruang ini, interaksi sosial berlangsung bukan atas dasar dominasi, melainkan saling pengertian.
Perjumpaan Natal dan Lebaran di Maluku menjadi ruang dialog kultural yang senyap namun efektif. Tanpa banyak pidato, masyarakat saling “berbicara” lewat kehadiran, interaksi yang dalam, bantuan, dan empati. Inilah dialog yang tidak riuh, tetapi mengakar.
Contoh lain yang hidup di masyarakat dapat ditemukan dalam hubungan pela/gandong antara negeri-negeri tertentu—seperti ikatan pela antara negeri Muslim dan Kristen yang tetap terjaga lintas generasi.
Dalam beberapa perayaan besar, delegasi dari negeri pela/gandong datang secara resmi untuk menghadiri perayaan saudara pela/gandongnya.
Mereka disambut dengan adat, duduk bersama dalam satu meja, dan terlibat dalam seluruh rangkaian acara. Kehadiran ini bukan formalitas, melainkan penegasan bahwa identitas adat lebih tua dan lebih dalam daripada sekat-sekat sektarian.
Namun, penting disadari bahwa pela-gandong bukan warisan yang otomatis lestari. Modernisasi, urbanisasi, dan derasnya arus media sosial membawa tantangan baru.
Generasi muda Maluku tumbuh dalam dunia yang lebih individualistik, di mana relasi sosial sering kali dimediasi layar, bukan lagi ruang-ruang komunal.
Politik identitas dan narasi intoleransi yang beredar secara global juga berpotensi merembes ke ruang lokal. Dalam konteks ini, pela-gandong perlu dimaknai ulang agar tetap relevan.
Di sinilah relevan pemikiran Anthony Giddens tentang strukturasi: struktur sosial—termasuk adat—hanya akan hidup jika terus dipraktikkan oleh para pelakunya. Dengan demikian Pela-gandong tidak cukup dihafal sebagai sejarah, tetapi harus dihidupi sebagai praktik.
Natal dan Lebaran menjadi momen strategis untuk mereproduksi nilai-nilai itu, menjadikannya pengalaman nyata bagi generasi baru, bukan sekadar cerita nostalgia.
Merawat pela-gandong juga berarti menempatkannya sebagai kekuatan moral dalam pembangunan Maluku. Hidup orang basudara bukan hanya nilai etis, tetapi juga modal strategis untuk menghadapi persoalan bersama: kemiskinan, kerusakan lingkungan, hingga tata kelola pemerintahan.
Bagaimanapun masyarakat yang saling percaya dan terikat kuat secara sosial akan lebih mudah berkolaborasi dan berbenah. Maju bersama.
Pada akhirnya, suasana Natal dan Lebaran di Maluku mengajarkan bahwa keberagaman tidak harus dikelola dengan kecurigaan, melainkan dirayakan dengan persaudaraan. Di tanah ini, iman dan adat bertemu dalam satu wajah kemanusiaan.
Pela-gandong menjadi penanda bahwa masa depan Maluku tidak dibangun dengan meniadakan perbedaan, tetapi dengan merawatnya dalam bingkai hidup orang basudara—sebuah nilai yang mesti terus bertumbuh, seiring majunya zaman dan kompleksitas tantangannya.
Dan buat yang sempat membaca artikel pendek ini, terutama basudara Kristiani, saya/beta sampaikan selamat merayakan Natal dengan penuh cinta dan kasih, semoga damai dan bahagia selalu menyertai langkah kita.
(ulin)








