Mantan Teman dan Mantan Guru, Adakah?

  • Whatsapp

(Sekelumit Bahan Refleksi bagi Setiap Acara Reuni Kita)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Alumni PGAN Situbondo Tahun 1982)

Sebuah Ensiklopedi bebas, sebut saja Wikipedia, memuat tulisan tentang sebuah istilah mengenai “reuni kelas” dengan sebgaian narasi sebagai berikut:
“Reuni kelas adalah pertemuan “mantan teman” kelas, biasanya diadakan di atau dekat sekolah lama mereka”. “Mantan guru” juga diundang. Umumnya, peserta reuni mengingat kembali atau bernostalgia tentang hari-hari sekolah mereka dulu, dengan detail mengingat teman-teman yang suka usil, dan bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing mereka sejak berpisah dan terpencar-pencar. Alumni biasanya sangat peduli dengan bagaimana hidup mereka berubah jika dibandingkan dengan hidup “mantan teman” sekelas mereka, dan kadang merasa tertekan untuk bercerita jauh mengenai karier sukses mereka, pencapaian pribadi, dan hubungan dengan orang lain. Sejumlah reuni kelas juga melibatkan pemberian hadiah reuni kepada institusi pendidikan bersangkutan.”

Pada narasi tersebut, tampaknya ada yang perlu kita komentari bersama. Bukan berkomentar tentang materi uraiannya. Kita boleh sependapat atau tidak sependapat mengenai materi uraian, tetapi bukan itu yang perlu kita persoalkan. Yang perlu kita berikan komentar tidak lain adanya 2 istilah, yaitu istilah “mantan teman” dan “mantan guru”. Kata “mantan teman” ditulis 2 kali sedangkan kata “mantan guru” ditulis 1 kali. Persoalannya, bukan mengenai frekuensi penulisan, melainkan tepat atau tidaknya istilah tersebut, terutama jika ditinjau dari aspek etika (akhlak). Kita pun, selanjutnya, tentu patut mempertanyakan, adakah mantan teman apalagi mantan guru? Jawaban nurani kita, akan menentukan siapa kita. Oleh karena itu ada baiknya menelusuri makna teman dan guru tersebut.

Teman dalam “Pandangan Raja Dangdut”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “teman” setidaknya diberi 4 arti, antara lain : “kawan” dan “sahabat”.
Kita tentu masih ingat, seorang “Raja Dangdut” Rhoma Irama, pada tahun 1979, juga pernah menciptakan lagu berjudul “Sahabat”. Lirik lagu yang kemudian dinyanyikan dengan ritme rock dangdut ini, berbicara mengenai teman dengan tipologinya. Menurut mantan suami Veronica ini, ada dua jenis teman, yaitu “teman di meja makan” dan “teman dunia akhirat”. Teman di meja makan dimaksudkan untuk menggambarkan teman bersuka ria. Oleh karena itu biasanya selalu mudah dicari. Tetapi saat kita jatuh atau mengalami kesusahan biasanya, dia akan dengan mudah pergi meninggalkan kita. Dengan karakteristik demikian, teman di meja makan ini sering hanya bersifat sementara.

Ada teman yang menurut Rhoma bersifat abadi, yaitu teman yang oleh Rhoma disebut “sahabat”. Teman ini bernilai abadi, karena bisa menjadi teman, tidak hanya di dunia tetapi juga sampai pada kehidupan abadi: di akhirat. Yang menjadi penyebab perbedaan kedua teman, yaitu teman dunia dan sahabat, itu dalam pandangan Rhoma, disebabkan oleh faktor iman dan agama.
Sebagai bahan refleksi memang ada baiknya kita hayati lirik lagu “Sahabat” karya Rhoma Irama, yang selengkapnya sebagaimana berikut di bawah ini.

Mencari teman memang mudah
Pabila untuk teman suka
Mencari teman tidak mudah
Pabila untuk teman duka
Banyak teman di meja makan
Teman waktu kita jaya
Tetapi di pintu penjara
Di sana teman tiada
Mencari teman memang mudah
Pabila untuk teman suka
Mencari teman tidak mudah
Pabila untuk teman duka
Sesungguhnya nilai teman yang saling setia
lebih dari saudara
Itu hanya mungkin bila di antara kita
seiman seagama
Seumpama tubuh ada yang terluka
Sakitlah semuanya
Itulah teman dalam taqwa
Satu irama selamanyaItulah teman yang setia
Dari dunia sampai surga
Bila teman untuk dunia
Itu hanya sementara
Tapi teman dunia-akhirat
Itu barulah sahabat
Itulah teman dalam taqwa
atu irama selamanya
Itulah teman yang setia
Dari dunia sampai surga
Pa-pa-pa-pa-pa
Dengan demikian, dalam konteks lagu Rhoma tersebut, istilah “bekas teman” pada pertemanan yang mencapai derajat “sahabat”, tidak mengenal “bekas teman”. Pertanyaannya, sejauh manakah derajat perteman kita selama lebih kurang 3 tahun menempuh studi di bangku PGA Negeri Situbondo? Sudah mencapai derajat sahabat dan bersifat abadi (sampai di akhirat)? Atau, hanya sebatas teman di meja makan yang hanya bersifat sementara karena hanya didasarkan atas kepentingan sesaat? Nurani kitalah yang akan dengan jujur menjawabnya. Begitulah seterusnya, sejuta ulasan mengenai teman tentu bisa kita buat dengan berbagai versi. Akan tetapi, pada akhirnya akan sampai pada satu titik pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana kita memposisikan semua teman kita tadi dan sekali lagi itu hanya bisa dijawab oleh nurani kita masing-masing.

Cara pendang kita terhadap teman yang satu dengan teman yang lain pasti berbeda. Hal itu disebabkan oleh karena “perekat” yang menciptakan ketulusan kita berteman terhadap teman yang satu dengan teman yang lain juga berbeda. Dan, yang demikian tidak boleh di salahkan. Karena Allah menciptakan hati dan hati ini sering mempunyai logikanya sendiri. Sayyidatuna Aisyah radhiyallahu ‘anha, sering cemburu saat dipangkuannya, rasulullah SAW sering menyebut Khadijah radhiyallahu ‘anha. Padahal, wanita pejuang itu sudah lama wafat. Mengapa? Karena daya rekat hati rasulullah SAW terhadap Khadijah dengan kasih dan jasa-jasanya, tampaknya belum bisa tergantikan.
Akan tetapi, meskipun kedekatan kita menjalin pertemanan antara teman satu yang lain berbeda, kita masih disatukan oleh satu kenyataan, bahwa kita semua pernah bersama. Yaitu, ketika kita bersama-sama menimba ilmu di “sekolah yang sama” dan dengan pastinya dengan “guru yang sama” pula. Oleh karena itu, kesamaan ini harus terus kita pelihara sampai akhir hayat kita. Tentunya, sambil terus mengenang jasa kedua orang tua kita masing-masing dan para guru kita tersebut.
Bekas Guru, Adakah?

Istilah tersebut tentu perlu kita luruskan. Sebagai seorang penuntut ilmu tentu sadar, bahwa ilmu merupakan makanan ruh kita. Al-Imam Asy-Syafi’i mengingatkan dengan salah satu syairnya:
“Demi Allah, hidupnya seorang pemuda hanyalah
dengan ilmu dan takwa
Jika keduanya tidak ada
Apatah arti keberadaannya?

Az-Zarnuzi dalam kitabnya Taklimul Muta’allim (Pencerahan Bagi Pencari Ilmu) menulis sebagai berikut:

“Tidak seorang pun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan, karena ilmu itu khususdimiliki umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia dan bisa dimiliki binatang. Dengan ilmu pengetahuan.”

Dengan demikian, menurutnya, hanya ilmulah sejatinya yang bisa menjadi pembeda manusia dengan binatang. Dengan realitas demikian, itulah sebabnya dalam Islam menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Bahkan, kewajiban ini berlaku sejak dari manusia lahir sampai mati. Berbeda dengan kewajiban salat atau perintah agama-agama lainnya yang pada umumnya berlaku setelah manusia mukallaf (mempunyai cukup umur dan layak untuk dibebani menjalankan syari’at). Bahkan dalam konteks kehidupan final di akhirat, rasulullah mengatakan, bahwa kesungguhan menuntut ilmu sangat terkait dengan kemudahan dan kesulitan manusia menggapai kehidupan bahagia di akhirat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan menuju ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

Betapa tingginya kedudukan ilmu ini sehingga para ulama pun telah banyak menulis sejumlah hadits tentang keutamaan ilmu dan para pencarinya. Para pencarinya yang tulus dan telah mendapatkannya, dalam agama sering disebut sebagai al-Ulama (jamak dari al-alim). Dan, hanya ulama ini pula yang memiliki otoritas ilmu keagamaan, sepeninggal para nabi. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW menegaskan dalam salah satu haditsnya: “al-ulama waratsatul ambiyak”.
Tidak dapat dibantah, kita sebagai seorang yang pernah duduk di bangku sekolah (di PGAN Situbondo) adalah para pencari ilmu itu. Memang tidak semua kita dapat mencapai derajat “al-alim” tetapi setidaknya, kini kita telah menjadi orang-orang berguna di dunia kita masing-masing. Hal yang juga tidak dapat dibantah ialah saat menjadi pencari ilmu kita selalu berhadapan dengan “para guru”.
Para guru itulah yang telah mencurahkan segenap kemampuan untuk membuat kita menjadi orang-orang berilmu. Dan, pastinya beliau sangat berharap agar, setamat sekolah, kita dapat menjadi orang-orang berguna sesuai dengan talenta kita masing-masing. Tidak seorang pun dari mereka menginginkan kita menjadi orang-orang jahat. Oleh karena itu sejatinya para guru itu, hakikatnya merupakan para orang tua kita juga. Merekalah yang telah “menimang” kita dengan tulus dalam dunia yang mereka miliki, yaitu “dunia pendidikan”.
Karena peran itulah, dalam dunia santri eksistensi guru (Ustadz/kiai) ditempatkan pada kedudukan yang sangat tinggi, sederajat dengan ibu dan ayah kita. Seorang santri di mana pun dan kapan pun, akan selalu merasa mempunyai 2 jenis orang tua. Kedua orang tua itu adalah: “ibu/ayah” dan “para guru” (ustadz/kiai). Hanya peranlah yang membedakan keduanya. Kedua “ibu dan ayah” (sebagai orang tua biologis) berperan sebagai perawat jasmani kita sedangkan para guru (ustadz/kiai) berperan sebagai perawat ruh (mental spiritual) kita. Sehingga, kewajiban berbakti kepada keduanya juga tidak mengenal batas ruang dan waktu. Artinya, di mana pun dan sampai kapan pun , kita diwajibkan selalu berbakti kepada para guru kita. Itulah sebabnya, bagi seorang santri berbakti kepada guru menjadi salah kewajiban yang tidak bisa ditawar.
Dengan posisinya yang begitu luhur, tentunya di mana pun dan sampai kapan pun tidak etis kita menyebut orang yang pernah mendidik kita dengan sebutan “mantan”, dalam hal ini “mantan guru” apalagi “bekas guru”, suatu sebutan yang apabila secara sadar kita ucapkan, kita khawatirkan dapat mereduksi (mengurangi) “keberkahan ilmu” yang kita miliki. Dan, bukan mustahil, tanpa kita sadari pada akhirnya, juga dapat mengurangi “keberkahan hidup” kita. Melihat fenomena sekarang, banyaknya orang-orang pintar keblinger, banyak pejabat masuk bui, banyaknya orang kaya bangkrut tampaknya patut menjadi bahan renungan kita. Jangan-jangan semua itu terjadi diakibatkan, salah satunya, oleh karena mereka sudah melupakan “kebaktian” mereka kepada para guru, orang-orang yang ikut andil telah mengantarkan mereka menjadi orang-orang sukses itu. Naudzubillah min dzalik ( Kita berlindung kepada Allah dari perilaku itu).
Akhirnya, kalau begitu, yuk kita hindari menyebut orang yang pernah mendidik kita dengan sebutan “Mantan Guru”. Mantan Teman ( mungkin ) “Yes”, tetapi Mantan Guru, “No”. Selamat ber- REUNI RIA.

BIO DATA PENULIS

Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988;
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001;
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait