Mapolsek Ciracas Diserang, SETARA Institute Ungkap Dugaan Keterlibatan TNI

  • Whatsapp
Hendardi, Ketua SETARA Institute

JAKARTA, beritalima.com | Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (29/8/2020) dini hari diserang sekelompok pengacau. Kasus ini mengundang kecaman keras Hendardi, Ketua SETARA Institute.

Tidak hanya kecaman, Hendardi juga mengungkapkan dugaan keterlibatan satuan lain, berdasarkan kronologi serta berbagai kesaksian masyarakat. Menurut Hendardi, penyerangan terhadap Mapolsek Ciracas itu diduga dilakukan sekitar seratus orang lebih. Mereka mengendarai sepeda motor membakar mobil, motor, dan menganiaya petugas piket di Mapolsek. 

Sebelum menyerang Mapolsek Ciracas, gerombolan itu diduga telah melakukan pengrusakan di Pasar Rebo. Mereka menganiaya dan melukai warga sipil. Bahkan idak cuma itu, mereka pun diduga telah melakukan razia, pengusakan kendaraan disertai pemukulan terhadap warga pengguna jalan di Jalan Raya Bogor dari arah Cibubur sebelum Mapolsek. 

SETARA Institute mengutuk keras tindakan brutal yang dipertontonkan sejumlah orang tersebut. Perilaku mereka merupakan kebiadaban terhadap aparat keamanan negara dan warga sipil. Tindakan melawan hukum dan main hakim sendiri itu jelas mengganggu tertib sosial dalam negara demokrasi dan negara hukum. Mereka juga merusak dan mengancam keselamatan masyarakat, utamanya warga sipil.

“Jika benar oknum TNI terlibat dalam peragaan kekerasan ini, maka berulangnya peristiwa kekerasan itu salah satunya disebabkan karena TNI terlalu lama menikmati keistimewaan dan kemewahan (previlege) hukum karena anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum,” ujar Hendardi.

Menurutnya, reformasi TNI juga tampak hanya bergerak di sebagian aras struktural tetapi tidak menyentuh dimensi kultural dan perilaku anggota. Kemandekan reformasi TNI telah menjadikan anggota TNI immun dan terus merasa supreme menjadi warga negara kelas 1. “Perbuatan yang diperagakan pada Jumat malam kemarin telah menggambarkan secara nyata kegagalan reformasi TNI,” tegas Hendardi.

“Previlege dan immunitas yang sama juga akan terjadi ketika TNI melalui Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme jadi disahkan oleh Presiden Jokowi,” lanjutnya.

“Tidak bisa dibayangkan, atas nama memberantas terorisme, tindakan yang sangat tidak benar dan unprofessional conduct seperti diperagakan dalam peristiwa terbaru ini akan menjadi pemandangan rutin dan dianggap benar oleh peraturan perundang-undangan,” tandasnya.

“Performa penanganan tindak pidana terorisme akan bergeser menjadi peragaan anarkisme kelompok yang dilegitimasi hukum tanpa mekanisme akuntabilitas yang adil,” imbuhnya pula.

Menurutnya, tidak ada pilihan lain bagi aparat hukum untuk mengusut tuntas kekerasan pada Jumat malam hingga Sabtu dini hari tadi, termasuk kemungkinan meminta pertanggungjawaban oknum TNI jika terlibat. Tidak boleh muncul kesan dari institusi dan pihak manapun untuk memaklumi apalagi melindungi perilaku biadab yang dipertontonkan secara terbuka tersebut. Rule of law harus menjadi panglima untuk mewujudkan tertib hukum dan tertib sosial.

“Presiden Jokowi dituntut untuk kembali mendorong gerbong reformasi TNI yang menunjukkan arus balik, termasuk membatalkan rencana pengesahan RPerpres Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme dan memprakarsai revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer dengan agenda utama memastikan kesetaraan di muka hukum. Bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, sebagaimana umumnya anggota masyarakat lain,” pungkasnya.  (Gan)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait