JAKARTA, Beritalima.com– Dukungan investor politik kepada peserta Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) bertujuan mendapatkan pintu masuk (akses) menguasai sumber keuangan daerah melalui berbagai program pembangunan.
Karena itu, kehadiran investor politik dalam di setiap penyelengaraan Pilkada diduga menjadi salah satu sebab maraknya korupsi pejabat publik di daerah. Soalnya, para investor tersebut akan menagih imbal jasa dari pejabat daerah terpilih atas bantuan yang telah diberikan para investor
Hal itu terungkap dalam diskusi buku Investor Politik pada Pemilihan Kepala Daerah Indonesia yang diselenggarakan secara daring Center for Indonesia Reform (CIR) di Jakarta akhir pekan ini, Hadir sebagai pembicara Direktur Pendidikan Pelayanan Masyarakat KPK, Giri Suprapdiono dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera.
Dalam paparannya Hidayat mengatakan, praktek investor politik kerap ditemukan dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dukungan mereka lakukan beragam dengan tujuan yang sama yaitu mendapatkan imbal balik dari peserta pilkada yang terpilih.
Imbal balik ini diberikan mulai dari pemberian proyek pembangunan, pengisian jabatan strategis hingga jual-beli perizinan.
“Daya rusak investor politik ini sangat besar terhadap sistem pemerintahan yang demokratis. Para investor politik punya kepentingan terhadap calon pilkada yang didukungnya. Umumnya mereka berharap bisa mendapat keuntungan lebih besar dari investasi yang diberikan,” tegas Hidayat.
Untuk menghindari peran investor politik dalam pilkada, Hidayat mengusulkan diberlakukannya sistem transaksi elektronik untuk semua kegiatan pilkada. Dengan demikian, setiap penerimaan dan penggunaan dana politik peserta pilkada dapat dilihat dan diperiksa secara transparan.
“Dengan sistem transaksi elektronik ini maka PPATK bisa memeriksa berbagai kemungkinan yang terjadi. Karena selain sistem pilkada yang harus dibuat transparan, kita juga perlu menyiapkan sistem yang mendukung terciptanya system transparan dalam dukungan politik,” imbuh Hidayat.
Sejalan dengan Hidayat, Mardani Ali Sera mengatakan kehadiran investor politik dalam hajat pilkada memang sangat terasa. Untuk itu Mardani mengusulkan dilakukan revisi terhadap beberapa UU terkait Pilkada.
“Bisa disebut semacam UU Omnibus Law politik lah. Jadi, semua UU yang terkait dengan pilkada disatukan. Di sana kita bisa buat aturan yang meminimalisasi keberadaan peran investor dan oligarki politik,” tegas Mardani.
Diakui, sistem sekarang menyebakan ongkos politik menjadi mahal. Dampaknya hanya calon yang didukung dana kuat saja yang mampu jadi kontestan pilkada. Aturan yang membuat politik mahal itulah yang membuat para peserta pilkada membutuhkan investor politik. “Saya sangat mendukung upaya revisi UU tersebut agar tercipta politik mudah, murah dan berkah,” imbuh Mardani.
Dalam paparannya Direktur Yandikmas KPK RI, Giri Suprapdiono mengatakan, berbagai modus kerjasama yang biasa dilakukan para peserta pilkada dengan investor politik. Dari berbagai kasus yang pernah ditangani KPK, Giri menyebut, ada empat model imbal jasa yang diberikan pejabat pemenang pilkada kepada para investor politik, yaitu pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, perizinan dan korupsi anggaran.
Masing-masing pihak bersama-sama mengupayakan mengembalikan modal pilkada yang sudah dikeluarkan. Pejabat publik yang didukung investor politik akan bekerja dan mengeluarkan kebijakan yang sebagian besar bisa mengembalikan modal yang dikeluarkan.
“Dalam politik yang melibatkan investor politik seperti ada siklus tanam dan panen. Saat menanam adalah saat mengeluarkan modal untuk keperluan pilkada. Sementara masa panen adalah masa mendapatkan keuntungan dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan,” ujar Giri.
Tidak heran, lanjut Giri, di KPK terdapat 36 persen tersangka kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik. Bahkan berdasarkan indeks persepsi korupsi 2018, lembaga politik seperti DPR mendapat skor yang kurang baik.
Untuk memutus mata rantai praktek investor politik, Giri mengusulkan agar DPR merevisi beberapa ketentuan dalam UU Politik dan Pilkada diantaranya meninjau ulang sistem pemilihan terbuka, mendorong adanya kompetisi internal di masing-masing parpol dan menyediakan 50 persen anggaran operasional parpol oleh Negara.
“KPK sudah melakukan penelitian mengenai besaran anggaran operasional parpol ini. Harapannya jika sebagian biaya operasional parpol disediakan Negara maka parpol lebih fokus mencalonkan seseorang dalam pilkada berdasarkan kemampuannya. Bukan karena dukungan finansialnya,” demikian Giri Suprapdionotandas. (akhir)