JAKARTA, Beritalima.com– Politisi Partai Keadilan Sejahtera di Komisi II DPR RI yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Mardani Ali Sera mengatakan, bangsa Indonesia mencari format demokrasi yang tepat ini.
Hal ini diungkapkan wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur dalam Dialetika Demokrasi dengan tema ‘Konsolidasi Demokrasi dan Hukum Berkeadilan’ bersama anggota Fraksi Partai Demokrat, Anwar Fafid beserta pengamat Geogpolitik sekaligus Direktur Global Future Institute, Hendrajit di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/3) petang.
Menurut Mardani, demokrasi punya nilai-nilai principle tapi punya nilai-nilai yang variabel. Karena itu, Mardani sedih saat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) karena pasal karetnya banyak sekali digunakan.
“Buat saya, itu cuma menambal atap yang bocor. Tak membersihkan atau menghilangkan esensi kebocorannya. Jadi, ada yang tetap. Nah, yang variabelnya ini. Menurut saya, kita bisa melakukan tafsir demokrasi yang lebih cocok dengan kita misal, kita sudah 23 tahun reformasi dari ’98 sampai sekarang,” kata Mardani.
Namun, lanjut politisi senior yang juga Ketua Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan Hidup DPP PKS 2020-2025 tersebut, indeks demokrasi kita tidak tambah baik. Ini artinya, indeks demokrasi Indonesia jalan di tempat, tidak membawa kesejahteraan.
Kalau kita zooming lagi, kata dia, dari 2002 Indonesia sudah punya payung konstitusi, dana pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD, matematika kita rendah literasi kita rendah. Itu artinya ada yang salah kalau bahasa CSIS demokrasi kita representative, mestinya oke.
“Dari catatan itu, saya memang kita harus segera keluar dari middle income trap, karena huntington mengatakan demokrasi di negara berpenghasilan 6.000 dolar ke bawah seringkali anomali, kita punya kayak gini,” tutur Mardani Ali Sera.
Sedangkan Anwar Hafid mengatakan sistem demokrasi kita hari ini adalah sistem demokrasi yang tentu kita pahami semua demokrasi tentu dengan suara terbanyak, sehingga mengalahkan rasionalitas misalnya, mengalahkan suara-suara yang menginginkan adanya sebuah perubahan tatanan dalam sistem domokrasi kita.
“Kami bersama dengan PKS untuk memperjuangkan revisi UU Pemilu sebagai bagian dari pilar demokrasi, sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi kita, tentu tidak bukan tanpa alasan atau karena hanya kepentingan politik.”
Kita tidak ingin lagi kembali, kita sudah pernah mengalami demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, kemudian hari ini kita mengklaim sebagai demokrasi Pancasila, kita tidak ingin lagi kembali, kita masih bisa bayangkan dulu mulai dari Bupati, Gubernur dan sebagainya dipegang oleh satu orang, ditunjuk oleh satu orang di Indonesia.
“Apkah itu kita mau lagi terjadi, makanya salah satu konsolidasi demokrasi yang kita lakukan adalah bagaimana kita menata sistem Pemilu kita desain Pemilu kita ke depan itu lebih baik, sehingga kita harapkan bahwa output yang terjadi dari demokrasi itu benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi kita,” tutur Anwar Hafid. (akhir)