JAKARTA, Beritalima.com– Keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berada di luar pemerintahan Jokowi-Ma’ruf 2019-2024 atau sebagai oposisi merupakan tanggung jawab Majelis Syuro.
Sebab itu, anggota MPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera tidak berani mendahului, sikap partai apakah akan mendukung atau menjadi kekuatan peyeimbang bagi pemerintah lima tahun ke depan.
Yang pasti, ungkap anggota Komisi II DPR RI ini, berdasarkan masukan para kader, pendukung dan masyarakat, sebagian besar mengharap, PKS bisa istikhomah menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan mendatang, yakni melaksanakan fungsi check and balance, sebagai oposisi yang kritis dan konstruktif.
“Oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apapun jumlahnya, jika dia melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Lihatlah kisah cicak versus buaya, siapa menyangka cicak akan menang. Tapi karena rakyat mendukung, maka hasilnya bisa lain”, kata Mardani
Itu dikatakan wakil rakyat ini dalam diskusi bertema ‘Demokrasi Pancasila, Rekonsiliasi Tak Kenal Istilah Oposisi” di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (1/7).
Menurut dia, dalam berpolitik elit perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, kata Matdani, demokrasi akan terhenti di tengah jalan.
Karena itu, Mardani tetap berharap pasca pemilu, Prabowo bisa bertemu dengan Joko Widodo, sekaligus menyatakan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah.
“Kalau semua partai mendapat jatah kursi, ini namanya akuisisi, bukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada oposisi, publik akan merugi, dan itu akan melahirkan neo orde baru,” kata Mardani.
Pada kesempatan serupa, pakar hukum tata negara Prof Juanda mengatakan, partai politik pendukung Prabowo-Sandi secara etika politik idealnya menjadi partai penyeimbang atau menjadi oposisi, bukan bergabung menjadi partai pendukung pemerintah karena mengincar jabatan menteri.
Diakui Juanda, apa yang dikatakan Mardani bahwa dalam sistem UUD 1945 tidak mengenal adanya oposisi, adalah benar. Namun, menurut dia, menjadi oposisi bisa dipilih partai politik, terutama pendukung pasangan capres nomor urut 02, Prabowo-Sandi.
“Menjadi oposisi atau penyeimbang sangat ideal dan sangat beretika ketimbang bergerak ke tempat lain hanya karena mengincar jabatan menteri,” tegas Juanda.
Langkah sejumlah partai yang melakukan itu dinilai Juanda tak beretika. Soalnya, dalam negara demokrasi yang berazaskan Pancasila, dibutuhkan pengawasan atau kontrol terhadap roda pemerintahan.
“Sangat tidak elok rasanya, kalau hanya Partai Gerindra dan PKS saja yang memilih di luar pemerintahan, apalagi dikaitkan membangun demokrasi konstitusional berdasarkan Pancasila ke depan,” kata Juanda.
Dia berpandangan kalau hamya dua partai yang menjadi oposisi, sangat tidak seimbang dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Hitung-hitungannya, kalau PAN dan Demokrat pindah haluan dan hanya tinggal Gerindra dan PKS yang memilih oposisi, Kekuatan kedua partai ini hanya 22 persen.
“Saya kira, ini sangat tidak balance. sehingga persentase tinggal 80-20 atau persentasenya hanya 78 persen dan 22 persen. Ini jelas tidak seimbang dan tidak efektif,” kata pakar hukum ini.
Kondisi seperti itu, menurut dia sangat tidak sehat buat iklim demokrasi. Artinya, elit dan partai politik mempertontonkan sikap inkonsistensi dalam mengambil pilihan politik.
“Seharusnya empat atau lima dari partai yang mendukung Prabowo-Sandi tetap konsisten menjadi penyeimbang dan ini saya kira bagus dan elok dalam rangka pendidikan politik untuk generasi kita selanjutnya,” demikian Juanda. (akhir)