Mari Kembangkang sikap Bijak Dalam Memandang Perbedaan

  • Whatsapp

Oleh : Dede Farhan Aulawi

Pelangi nampak indah karena di sana terdapat beraneka warna. Sambal terasa nikmat karena dibuat dari berbagai bahan yang memiliki karakteristik sifat yang berbeda, misal garam rasa asin, cabe rasa pedas, dan lain – lain. Lalu ketika dicampur dengan komposisi yang berimbang, maka jadilah sambal yang memberikan kelezatan rasa. Cona kalau sambal hanya terbuat dari garam saja atau cabe saja, pasti tidak terasa nikmat.

Begitupun dengan kita manusia yang lahir dari rahim yang berbeda, besar di tempat yang berbeda, tumbuh di lingkungan yang berbeda, maka pasti akan memiliki banyak perbedaan satu dengan yang lainnya. Bahkan adik dan kakak yang notabene lahir dari rahim yang sama, tumbuh dan berkembang dalam asuhan yang samapun tidak akan selalu memiliki pendapat yang sama dalam segala hal.

Dengan demikian, jika tumbuh banyak perbedaan pendapat dalam kehidupan kita sesungguhnya sesuatu yang biasa dan wajar saja. Justeru akan aneh jika semua selalu sependapat. Jadi yang terpenting bukan untuk menyamakan pendapat, tetapi bagaimana mengembangkan “sikap arif dan bijak” dalam memandang berbagai perbedaan tersebut.

Terlebih saat ini dimana Indonesia sedang mengikuti rangkaian pesta demokrasi untuk memilih pemimpin dan wakil – wakilnya di legislatif. Pasti banyak perbedaan yang terlihat dan hal itu tentu sah – sah saja, selama tidak mengandung unsur fitnah, bohong (hoaks), provokatif dan lain – lain. Karena kalau suasana demokrasi tapi semua datar saja juga mungkin tidak enak, seperti di negeri tiran yang semua serba diatur.

Jadi kata kuncinya, bukan harus semua sama tetapi semua harus memiliki tenggang rasa untuk bisa menghargai satu sama lain. Kritik boleh saja disampaikan, namun sebagai bangsa yang luhur tentu memiliki standar agama, etik dan norma yang harus dijunjung tinggi. Kesopanan dan kesantunan perlu dijaga sebagai ciri salah satu bangsa yang beradab.

”Likulli ro’sin ro’yun” yang artinya “berbeda orang, pasti berbeda pula ide/ fikirannya “. Sebuah kata bijak yang sudah lama terdengar dan mengajak kita untuk selalu terbuka terhadap pendapat orang lain. Ada saat bicara dan ada saatnya mendengar. Tuhan memberi kita satu mulut dan dua telinga, agar kita jauh lebih banyak untuk belajar mendengar daripada banyak bicara. Adagium penuh hikmah ini jika kita cermati bersama, sungguh memiliki arti dan makna yang dalam untuk menuntun kita semakin dewasa, semakin arif dan semakin bijaksana.

Kematangan spiritual, kedewasaan emosional, luasnya wawasan dan kerendahan hati menjadi unsur – unsur penting yang harus ditumbuhkembangkan di tengah bangsa ini. Kalau soal mencari orang yang pintar tentu mudah dan banyak, tetapi mencari orang yang memiliki 4 karakter komunikasi seperti di atas tentu tidak mudah. Ada saatnya mereka yang selama ini merasa pintar, berwawasan luas, berpengalaman, dan lain – lain, mari duduk dan diam sejenak untuk mendengarkan saudara – saudara kita yang barangkali punya pendapat dan fikiran yang berbeda dengan kita.

Kritik tidak perlu ditanggapi secara reaktif sebagai lonceng permusuhan atau tabuhan genderang perang. Kritik harus disikapi sebagai kesempatan untuk kita berinterospeksi diri, berkontemplasi jiwa, merenungi arti dan makna ikhtiar yang selama ini sudah kita lakukan. Ternyata banyak hal baik yang sudah dilakukan, tidak otomatis saudara – saudara kita yang lain mengetahuinya. Oleh karena itu, di sinilah fungsi strategis humas, juru bicara atau bagian penerangan untuk memberi keterangan dengan jelas, penuh kejujuran dan sistematis.

Banyak perbedaan strata di tengah masyarakat kita, yang tentu tidak mudah untuk memahami istilah – istilah filsafat yang disampaikan oleh para filusuf. Banyak masyarakat kita yang belum berkesempatan mengeyam pendidikan tinggi, jadi argumen dengan nalar logik akademik belum tentu bisa mudah dicerna oleh sebagian saudara kita. Jadi lawan dan hadapilah dengan penuh kesabaran, karena mereka semua itu masih saudara kita juga. Perbedaan pandangan dan ijtihad politik seyogyanya tidak melahirkan permusuhan, tetapi justeru harus menjadi rem perekat bahwa bathin kita dengan saudara – saudara kita yang lain masih ada yang belum nyambung. Bukan salah siapa – siapa, tetapi salah kita semua yang belum memahami bahasa dan kasih sayang saudaranya sendiri.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *