Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek
MARKETING UNTUK MEMBANGUN LEGACY POLITIK Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si Pemasaran politik (political marketing) sudah berkembang dengan berbagai dinamikanya baik di ranah akademik maupun praktis.
Diskursus seputar pemasaran politik sebagai bagian dari disiplin ilmu marketing atau entitas keilmuan mandiri membentang panjang hingga saat ini. Tulisan ini berupaya memahami pemasaran politik ini terutama dari perspektif komunikasi politik. Diskursus Pemasaran Politik Tidak dimungkiri bahwa warna pemasaran politik memang sangat kental diwarnai dengan konsep pemasaran produk komersial.
Gary A Mauser (1983) mendefinisikan pemasaran politik sebagai upaya memengaruhi perilaku massa dalam situasi kompetitif. Pemasaran politik oleh Mauser dianalogikan kepada pemasaran komersial.
Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audiens dari pemilih yang akan mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang dipadati lebih dari satu ‘brand’ produk.
Meskipun, menurutnya memang akan ada perbedaan mendasar antara pemasaran politik dengan pemasaran komersial. Misalnya, pemasaran politik mengukur kesuksesan tidak dalam istilah keuntungan ekonomi melainkan hasil voting dan efektivitas power. Kotler & Kotler (dalam Newman, 1999:3-10) menyusun peta pemasaran kandidat (candidat marketing map) menjadi enam tahap.
Pertama, riset lingkungan (environment research). Hal ini menyangkut pengaturan dan konteks seorang kandidat mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini, terkait dengan upaya mendefinisikan isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat.
Misalnya pada tahap ini meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter satisfaction or dissatisfaction), isu dan concern penting pemilih, peta demografi pemilih, riset partai dominan atau independen dan lain-lain. Kedua, analisis penilaian internal dan eksternal (internal and external assesment analysis). Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya. Dinilai juga kekuatan dan kelemahan organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, kekuatan dan kelemahan kompetitor.
Ketiga, pemasaran strategis (strategic marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income, pendidikan, etnis, ideologi kelompok dan lain-lain), target dan positioning (citra kandidat versus citra lawan).
Keempat, pengaturan tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campaign strategy) misalnya menyangkut positioning latar belakang dan kualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi konsep pribadi kandidat dan lain-lain.
Kelima, komunikasi, distribusi dan perencanaan organisasi (communication, distribution and organization plan). Tahap ini, misalnya menekankan pada sosok penampilan, publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format serta desain medianya.
Termasuk penyiapan organisasinya misalnya saja, staf fundraiser dan pengembangan, staf isu dan riset, staf media dan publisitas, relawan dan pekerja partai dan lain-lain.
Keenam, menentukan pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen pemilih partai, segmen kontributor, segmen media dan publisitas. -000-
Mengenai diskursus pemasaran politik ini sudah disinggung dengan sangat baik oleh penulis buku “Membangun Legacy 10P untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik”, Denny JA (2020: 35-42).
Penulis setuju dalam beberapa hal dengan kritik Newman terhadap pemasaran politik versi “model lama” yang juga sudah disinggung oleh Denny JA di bukunya ini. Menurut Newman (1994, 1999), bahwa pemasaran politik tergantung kepada tahapan, proses dan sistem politik.
Selain itu, produk politik umumnya menyertakan ideologi atau nilai-nilai yang lebih sulit untuk diubah. Pemasaran politik juga harus memperhitungkan lingkungan eksternal seperti teknologi, aturan atau sistem regulasi yang ada. Harus pula dihitung kekuatan kelompok yang ada dalam masyarakat. Terlepas dari pro kontra dalam memahami pemasaran politik, hal yang pasti bahwa dinamika politik modern semakin menempatkan peran dan fungsi signifikan pemasaran politik, terutama dalam konteks kontestasi pemilu (pemilihan umum).
Sebagai respons atas tulisan buku Denny JA ini, penulis tertarik memulainya dari perspektif komunikasi politik lantas memberi catatan kelebihan dan kekurangannya. Pemasaran Politik dalam Komunikasi Politik Konteks pemasaran politik modern semestinya diposisikan dalam ruang lingkup komunikasi politik. Terutama jika kita memahami komunikasi politik sebagai komunikasi yang memiliki intensi memengaruhi lingkungan politik.
Di bukunya Denton dan Woodward (1990), komunikasi politik dipahami dalam karakteristik tujuan (intentions) pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik (the political environment). Jika Danton dan Woodward menyifatkan komunikasi politik dengan istilah intensionalitas komunikasi, maka Brian McNair (2004) menyebut komunikasi politik sebagai komunikasi yang bertujuan tentang politik (purposeful communication about politics).
Hal ini meliputi; pertama segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan khusus.
Kedua, komunikasi yang ditunjukkan kepada aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih (voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa.
Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik lainnya di media massa. Pemasaran politik jika diposisikan di komunikasi politik bisa dikategorikan sebagai komunikasi yang dilakukan oleh aktor politik (bisa partai, kandidat, tim sukses, relawan, pemerintah dan lain-lain) untuk mencapai tujuan khusus misalnya meraup suara dari pemilih dalam pemilu. Untuk mencapai tujuan khusus menaikkan tingkat keterpilihan (electability), tingkat keterkenalan (popularity) dan tingkat penerimaan (acceptability) dari pemilih.
Hal ini penting dalam memenangi kompetisi dari kandidat lain. Tidak semata di pemilihan umum (pemilu), pemasaran politik juga bisa digunakan untuk mengenalkan, memopulerkan, membangun pemahaman khalayak pada program, gagasan, kebijakan seseorang atau lembaga seperti partai dan pemerintahan.
Singkatnya, komunikasi pemasaran dalam komunikasi politik dipahami sebagai serangkaian tindakan komunikasi persuasif untuk mendapatkan dukungan, kepercayaan dan suara. Dalam persaingan pemilu, aktor politik yang memiliki kepentingan memenangi kontestasi tentu saja harus melakukan komunikasi persuasif ke basis-basis pemilih melalui berbagai metode yang tepat.
Dalam pendekatan Social Judgement Theory yang dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M Perloff (1987), khalayak yang dipersuasi berada di tiga zona.
Pertama, di latitude of acceptance atau di zona penerimaan, kandidat sebagai persuader dapat diterima dan ditoleransi kehadirannya.
Kedua, di latitude of rejection atau di zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat dari munculnya resistensi atau posisi berseberangan dengan kandidat.
Ketiga, di latitude of no commitment di saat kandidat tak diterima tetapi juga tak ditolak. Kampanye merupakan salah satu contoh komunikasi persuasif yang kerap menjadi andalan dalam pemasaran politik.
Menurut Pfau & Parrot (1993) kampanye secara inheren merupakan kegiatan komunikasi persuasif. Oleh karena itu, dia mendefinisikan kampanye sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.
Kampanye secara sistematis berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat atau gagasan yang disodorkan. Tentu saja tidak mudah melakukan komunikasi persuasif di era politik yang semakin berorientasi pasar.
Pemasaran politik merujuk ke tulisannya Robert P. Ormrod (2013), menunjukkan evolusi dari berorientasi pada produk ke berorientasi pada penjualan dan saat ini berorientasi pada pasar. Para aktor politik baik individu maupun lembaga dituntut untuk mengubah banyak pendekatan dalam melakukan komunikasi persuasif ke segmen-segmen khalayak.
Jika merujuk pada Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen (2007), perubahan perilaku itu akan ditentukan oleh intensi seseorang.
Pemilih berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Niat melakukan atau tidak melakukan hal tertentu dipengaruhi oleh dua faktor mendasar, yakni sikap (attitude towards behavior) dan norma subjektif (subjective norms).
Oleh karenanya, para aktor politik perlu mengidentifikasi basis pemilih, merumuskan branding, positioning dan segmenting dengan tepat dan berdaya guna. Mengetahui masalah utama yang ada dan mengemuka di khalayak seperti apa, mengukur melalui survei opini publik persepsi yang berkembang di khalayak, mengefektifkan pull marketing dan push marketing dan lain-lain.
Intinya, para aktor bisa memetakan norma subjektif apa yang ada di khalayak, sikap seperti apa yang berkembang di mereka, dan tahu persis segmen, peta teritorial atau zonasinya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang terukur. Kelebihan dan Kelemahan Sumbangsih Denny JA di buku “Membangun Legacy 10P untuk Marketing Politik” ini menarik. Memiliki beberapa kelebihan yang jarang ditemukan di buku-buku pemasaran politik yang sudah terbit sebelumnya. Pertama, punya benang merah yang jelas terkait dengan pemahaman tentang pemasaran politik dari perspektif akademik dan praktis. Gagasan 10P: Pro-Innovation, Public Opinion, Polling, Profiling, Positioning, Product, Pull Marketing, Push Marketing, Post-Election Dan Political Legacy, menjadi konstruksi berpikir sekaligus panduan gerak pelaksanaan pemasaran politik di ranah praktis.
Hal ini tidak mengherankan karena Denny JA memang terlibat dalam praktik konsultan politik di Indonesia selama 17 tahun yang diakuinya sebagai cara mengawinkan politik praktis dan ilmu pengetahuan dalam marketing politik (Denny JA, 2020:viii). Buku sebagai narasi pasti memerlukan kepaduan. Seorang teoritikus paradigma naratif, Walter Fisher (1987), menulis tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Salah satu dari sekian cara membangun rasionalitas naratif adalah koherensi.
Komunikator harus mampu membangun dan mengembangkan narasi yang dapat disajikannya dengan runtut dan konsisten.
Sebenarnya sebagian besar dari 10P yang disampaikan Denny JA di bukunya ini sudah ada di buku-buku lain seperti Newman (1999), Niffenegger (1988), Lees-Marshment (2009), dan lain-lain. Pembedanya, Denny JA mengikatnya utuh menjadi gugusan gagasan yang lebih terintegrasi. Kedua, pembahasannya mudah dipahami dengan pendekatan menulis populer dengan memperbanyak contoh-contoh kasus pemasaran politik yang pernah terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara seperti Amerika, Inggris dan Prancis.
Sebelum masuk mengulas konsep-konsep akademik, biasanya di mulai dengan ilustrasi sejumlah peristiwa yang pernah terjadi dengan menyampaikan data ataupun cerita di balik yang terjadi, sehingga memudahkan pembaca memahami sejumlah konsep akademik yang dipaparkannya kemudian.
Kisah Obama, Nixon, Bill Clinton, Winston Churchill, Abraham Lincoln, Jacques Chirac, SBY, Golkar dan Jokowi dan sejumlah kasus-kasus pemasaran politik lainnya membuat pembaca memiliki gambaran mudah tentang apa yang menjadi pembahasan. Ketiga, Denny JA memasukan political legacy ke dalam bahasan soal pemasaran politik. Hal ini menjadi tawaran bagus dan segar. Bisa dikatakan ini menjadi puncak dari gagasan pemasaran politik di buku ini.
Denny JA memaknai political legacy sebagai pencapaian seorang pemimpin. Pencapaian itu bisa soal kebijakan atau program yang dibuatnya. Hal ini bisa juga soal gagasan yang ia populerkan, ataupun soal karya mereka yang memiliki efek besar.
Denny JA (2020: 192) mencontohkan Franklin D. Roosevelt dengan program besar yang disebut The New Deal yang bisa melampaui masa sulit Great Depression.
Selain Roosevelt ada nama Abraham Lincoln dan George Washington yang dianggap memiliki legacy bagi Amerika. Ini menjadi catatan penting, bahwa para aktor politik baik individu maupun lembaga selain sibuk menggapai kemenangan suara, dukungan, penerimaan dan kepercayaan, yang terpenting lagi setelahnya adalah “menanam” kebaikan yang tumbuh menjadi legacy melampaui usia dan zamannya. Kelemahan dari pembahasan di buku ini ada dua yang utama. Pertama, pembahasan tentang pemasaran politik melalui online atau digital media masih sangat kurang dan baru di kulit permukaan.
Di P yang ke-8 Denny JA mengulas “Smart Politics, Donald Trump, Politik Media Sosial dan P-8: Push Marketing” (Denny JA, 2020: 148-174). Saat mengulas soal dinamika pemasaran politik berbasis internet masih belum ada tawaran baru yang bersifat implementasi.
Hanya sekadar baru memberi contoh-contoh seperti kasus Donald Trump yang secara mengejutkan mengungguli Hillary di pemilu (pemilihan umum) Amerika 2016. Sementara bagaimana melakukan pemasaran politik di internet tidak tergambar jelas. Sebagaimana kita rasakan, internet memang memiliki peran penting dalam pemasaran politik seiring dengan era kelimpahan komunikasi.
Netizen aktif di dunia maya membentuk tipologi-tipologi tertentu, ada yang publicist, disseminator, propagandist, hacktivist dan lain-lain. Selain itu, tentu juga banyak pengguna internet yang pasif sekadar menjadi penonton atau konsumen informasi.
Mereka harus diidentifikasi dalam upaya menciptakan “ceruk khusus” pemilih yang dipersuasi dari media baru ini. Secara rinci soal ini bisa baca buku Heryanto (2018: 43-47). Kampanye di media daring butuh keterampilan khusus sebagaimana dikemukakan oleh Shel Holtz (2002), seperti: online constituent intelligence, online communication management, community building dan participation, technology skills.
Masing-masing keterampilan tersebut, tentu saja secara akademik dan praktis bisa dijelaskan lebih rinci dan menjadi pengembangan kekinian pemasaran politik.
Misalnya digunakan dalam kampanye positif, kampanye negatif ataupun menjadi cara untuk mengantisipasi kampanye hitam yang kerap muncul deras dari media sosial. Kedua, konsep yang elaborasinya masih kurang mendalam adalah tentang kampanye permanen. Dalam penjelasannya kampanye permanen didefinisikan Denny JA (2020:181) sebagai pola atau bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah (incumbent).
Kampanye tersebut dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaannya setelah terpilih. Istilah kampanye permanen ini pertama kali diungkapkan oleh jurnalis Sidney Blumenthal (dalam Hugh Heclo, 2000:2).
Kampanye permanen dipahami sebagai perpaduan antara pencitraan dan strategi kampanye yang mengubah cara memerintah menjadi sebuah instrumen kampanye secara terus-menerus sehingga dapat menjaga tingkat elektabilitas sang petahana.
Pertanyaannya apakah seluruh orang yang terpilih akan maju lagi? Sangat mungkin, orang yang sedang memimpin ini sudah tidak bisa maju karena sudah dua periode atau bisa juga tidak berminat maju lagi meskipun baru satu periode. Konsep komunikasi yang lebih relevan untuk orang sedang memimpin sebenarnya adalah political public relations dan political publicity.
Paling tidak ada 8 pendekatan yang bisa dilakukan untuk memelihara citra dan reputasi politik seperti pendekatan relasi politik dengan publik, model Grunigian, pendekatan hype politic, persuasi politik, manajemen hubungan politik, manajemen reputasi politik, hubungan publik politik, dan pembangunan komunitas politik.
Untuk lengkapnya tentang 8 pendekatan PR (Public Relation) politik ini bisa baca bukunya Heryanto dan Zarkasy (2012). Public Relations Politik biasanya fokus membangun niat baik dan pemahaman bersama baik pemimpin ini maju lagi dalam pemilu sebagai petahana (incumbent) atau menuntaskan kepemimpinannya dengan fokus pada political legacy.
Sementara publisitas politik fokus kerjanya pada upaya memperoleh pengertian, penghargaan, niat baik dan popularitas. Empat jenis publisitas bisa dilakukan, seperti publisitas dengan memanfaatkan latar alamiah (pure publicity), publisitas dengan memanfaatkan acara/kegiatan yang digelar pihak lain (free ride publicity), memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity) dan publisitas berbayar (paid publicity) di media massa dan media sosial.
Penggunaan istilah kampanye permanen jika dipahami sebagai pesan komunikasi politik membingungkan dan tumpang-tindih dengan konsep komunikasi lainnya. Secara umum, tentu saja kita perlu mengapresiasi karya Denny JA ini sebagai sumbangsih pada khazanah ilmu pengetahuan terutama menguatkan pemasaran politik. Verba volant scripta manent, selamat! ***