JAKARTA, Beritalima.com– Sekretaris Jenderal MPR RI, Dr. Ma’ruf Cahyono mengatakan, pembicaraan tentang kewarganegaraan dan politik hukum kewarganegaraan adalah berbicara tentang tata negara yang menjadi domain kajian.
“Proses dan dinamika pembentukan peraturan perundang-undangan warga negara sangat erat kaitannya dengan tugas MPR RI. Sesuai UU MD3, MPR terus menerus melakukan kajian sistem ketatanegaraan, kajian terhadap konstitusi UUD NRI Tahun 1945, dan kajian terhadap implementasi konstitusi. Implementasi konstitusi seperti UU Kewarganegaraan menjadi domain kajian di MPR,” ulang Ma’ruf.
Hal tersebut dikatakan Ma’ruf dalam peluncuran buku ‘Dinamika Pembentukan UU Kewarganegaraan Republik Indonesia’ di Ruang GBHN Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/12).
Hadir dalam peluncuran buku ini Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, Ferdiansyah dan Mujib Rohmat, Murdaya Poo (anggota Pansus RUU Kewarganegaraan RI 2005 – 2006), Ketua Umum Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) Rikard Bagun.
Sedangkan Hamid Awaluddin (Menkumham pembahasan RUU Kewarganegaraan 2005–2006), Lukman Hakim Saifuddin, Nursyahbani Katjasungkana (anggota Pansus RUU Kewarganegaraan RI 2005–2006) dan Topan Sapuan (Kasubdit Pewarganegaraan Ditjen AHU Kumham).
Mewakili Pimpinan MPR RI, Ma’ruf menyampaikan apresiasi Pimpinan MPR atas peluncuran dua jilid buku berjudul ‘Dinamika Pembentukan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia’. “Ini mungkin baru pertama kali dinamika pembentukan UU dibuat dalam bentuk buku,” kata Ma’ruf.
Menurut dia, kajian khusus terhadap kewarganegaraan merupakan implementasi dari pasal dalam UUD NRI Tahun 1945. “Jadi, menurut hemat MPR, tepat sekali peluncuran dan diskusi buku ini diadakan di MPR. Kewarganegaraan adalah wacana yang menjadi fokus kajian di MPR. Kita mendapatkan raw material. Karena itu buku ini akan disampaikan kepada Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR.”
Ditegaskan, UU Kewarganegaraan harus tegak lurus dengan Panca Sila, yaitu religiusitas, humanitas, nasionalitas, demokrasi dan keadilan. Rujukannya adalah Pembukaan UUD dan Pasal 26 UUD NRI Tahun 1945.
“MPR sebagai rumah kebangsaan membangun wacana dan diskursus tentang kebangsaan. UU Kewarganegaraan ke depan sebagai kajian bisa merespon kebutuhan saat ini,” kata Ma’ruf.
Pada kesempatan serupa, Rikard Bagun menjelaskan, buku ini merupakan rekaman perdebatan atau risalah rapat-rapat dalam pembahasan RUU Kewarganegaraan. Meski begitu, buku ini tidak sekadar rekaman melainkan menunjukkan ekspresi sebuah kepedulian wakil rakyat tentang hak sipil yang selama ini kurang diperhatikan.
Ada anggapan kewarganegaraan hanya ditujukan pada warga keturunan. Tetapi, pada kenyataannya banyak warga Indonesia yang belum mempunyai dokumen kewarganegaraan, seperti KTP, akte kelahiran, kartu keluarga. “IKI mengadvokasi dan membantu 600.000 warga untuk memperoleh dokumen kewarganegaraan.”
Dalam diskusi, Hamid Awaludin mengungkapkan dua motif pembentukan UU Kewarganegaraan, yaitu untuk mengubah paradigma berpikir dan menghilangkan sekat demarkasi. Paradigma kewarganegaraan selama ini menurut garis darah yang mengalir dalam tubuh.
“Paradigma ini harus diubah. Orang menjadi warga negara karena hukum yang menyatakan kewarganegaraan seseorang bukan garis darah yang mengalir. Jadi, negara yang memberikan status kewarganegaraan kepada seseorang,” kata dia.
Kedua, untuk menghilangkan garis demarkasi. Selama ini ada garis demarkasi seperti pengusaha pribumi dan non pribumi. Garis demarkasi itu bukan hanya untuk kalangan Tionghoa, tetapi juga Arab dan India. “Sekat antara kita dan kalian. Kita ingin menghilangkan sekat itu. Kita mau hanya satu, yaitu Indonesia,” demikian Hamid Awaluddin. (akhir)