Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pengamat Politik)
Setiap manusia pada umumnya mengalami masa indah dalam hidupnya. Terlebih buat pengantin baru dikenal ada istilah “Masa Bulan Madu”, dimana bulan manawarkan segenap keindahan di malam hari, dan madu mengilustrasikan rasa yang manis dan menyehatkan. Itulah masa – masa indah berbulan madu, seolah – olah setiap malam yang dilalui oleh para pengantin baru selalu berhiaskan keindahan dan kemanisan.
Begitupun dalam realitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada masa – masa seperti berbulan madu, yaitu masa terindah dalam serangkaian proses demokrasi, tepatnya pada masa kampanye. Bagaimana tidak indah dan manis ? Mungkin semua partai dan caleg menawarkan tentang keindahan bagi rakyatnya. Semua menawarkan janji dan komitmen untuk mensejahterakan rakyatnya. Semua janji dan mimpi indah disampaikan. Tidak sedikit rakyat yang terbangun konstruksi berfikir tentang keindahan, namun realitasnya seringkali menerima tidak seperti apa yang sudah dijanjikan.
Secara teoritis seharusnya rakyat itu senang, bahagia dan sejahtera. Kenapa ? Karena tidak ada satupun partai atau caleg yang menjanjikan kesengsaraan, kemiskinan dan penderitaan. Meskipun realitasnya agak sedikit berbeda, tentu persoalan lain. Jadi yang menarik untuk direnungi adalah tatkala semua elemen calon pemimpin di berbagai strata berjanji untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat di lingkungannya, namun faktanyanya tidak seperti itu, lalu salahnya dimana ? Apakah salah saat memberi janji ? Apakah komitmen kerakyatan yang tidak kuat ? Apakah karena ada situasi lain di luar kuasanya ? Atau karena ada alasan lain yang tidak bisa diuraikan dengan kata – kata ?
Pesantren, kampung – kampung kumuh, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh budaya, tokoh masyarakat, tokoh organisasi, dan berbagai komunitas yang selama ini jarang tersentuh, mendadak ramai dikunjungi. Silaturahmi yang biasanya sulit karena tidak ada waktu, mendadak semua jadi punya waktu untuk bersilaturahmi dan tentu “meminta untuk direstui”. Perilaku dan ucapannya tiba – tiba banyak yang begitu simpatik dan penuh empati. Itulah masa indah berbulan madu dalam sistem demokrasi.
Bagaimana rakyat tidak senang, mereka yang selama ini sibuk di Ibukota, tiba – tiba banyak turun ke bawah. Menyambangi satu rumah ke rumah lainnya. Berbagai program tiba – tiba bermunculan, mulai dari pengobatan gratis, bedah rumah, renovasi gedung, membuat lapangan olah raga, dan lain – lain. Seandainya itu semua benar – benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam dan dilakukan secara konsisten tentu sangat baik sekali. Namun sayang masyarakat sudah menyadari bahwa tidak sedikit mereka yang datang kepada masyarakat hanya untuk membeli hati saat masa kampanye saja, tetapi setelah masa berbulan madu selesai maka tibalah dalam kehidupan rumah tangga berbangsa yang sesungguhnya. Jangankan mengunjungi atau membela rakyat, rakyatnya pun mungkin sudah terlupakan karena berbagai kesibukan dan sejuta alasan lainnya.
Sungguh menarik untuk menyimak dan mengkaji perilaku politik dalam sistem demokrasi ini. Hanya untuk memperoleh kepercayaan atau amanah, banyak orang rela mengeluarkan uang-nya untuk membeli “Amanah”, tapi setelah amanah ia miliki belum tentu setiap orang tahu bagaimana cara menggunakan amanah itu. Bahkan sangat mungkin ada yang “mengkhianati” amanah yang sudah ia miliki. Contoh fakta konkritnya adalah tidak sedikit Pemimpin daerah atau anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi. Bukankah ini salah satu contoh riil dari pengkhianatan atas amanah yang telah diberikan oleh rakyatnya sendiri.
Lalu jika suatu amanah ia peroleh dengan mengeluarkan sejumlah uang, apa tidak mungkin ia akan terus mencari pundi – pundi keuangan untuk “mempertahankan amanahnya ?”. Amanah yang sejatinya merupakan kata yang mulia, suci dan berat pertanggungjawabannya, ternyata sering disimplikasi menjadi barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Kajian ekonominya berhitung untung dan rugi. Berapa modal yang harus dikeluarkan, kapan akan balik modalnya (break event), dan berapa keuntungan – keuntungan yang akan diperoleh. Kajian feasibility study untuk menilai kelayakan amanah yang seharusnya sebuah kata yang “sakral dan sangat berat” karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, kini menjadi kalkulasi untung rugi secara ekonomi.
Jika dahulu seorang sahabat Rasul langsung menangis saat menerima amanah, maka kini orang berebut amanah dengan segala macam cara. Barangkali ada yang keliru dengan sudut pandang tentang amanah saat ini. Sungguh berat pertanggujawaban diri kita sendiri di akhirat nanti, apalagi jika harus dibebani lagi dengan gerbong rakyat yang amanahnya sering dikhianati. Semoga tulisan singkat dari pemikiran ini bisa memberi manfaat buat semua calon pemegang amanah. Termasuk memberi manfaat bagi semua rakyat yang akan memberikan amanah-nya.
Pilihlah pemimpin – pemimpin yang benar – benar amanah, yaitu pemimpin yang bisa konsisten untuk menepati janji kampanye-nya dan benar – benar memiliki tekad yang kuat untuk mensejahterakan rakyatnya. Semoga Indonesia yang kita cintai ini, semakin maju dan sejahtera.