Masuk Prolegnas 2021, Anis: Konten RUU PPSK Gerogoti Independensi Bank Sentral

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) disepakati masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.

RUU ini mengatur hal komprehensif terkait reformasi, pengembangan, dan penguatan sektor keuangan sebagai penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan, penguatan koordinasi dan mekanisme penanganan sektor jasa keuangan. Aturan itu akan merevisi sejumlah UU sektor keuangan, seperti UU Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, produk hukum itu bakal meliputi pengaturan atau pembaruan regulasi di sektor pasar modal, perbankan, lembaga non bank, lembaga keuangan lainnya hingga sektor keuangan digital.

Menanggapi kehadiran RUU PPSK ini, anggota Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati menyampaikan pandangannya. Anis mengatakan, RUU PPSK tak urgen untuk saat ini. Politisi yang ekonom ini mengemukakan beberapa alasan.

Pertama, jelas wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur itu dalam keterangan pers yang diterima awak media akhir pekan ini, konten RUU PPSK lebih kepada upaya menggerogoti independensi bank sentral. “Ini berbahaya karena independensi itu menjadi syarat suatu kebijakan menjadi kredibel di pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,” kata dia.

Dampak lanjutan dari kotak-katik independensi bank sentral, kata anggota Komisi XI DPR RI ini, dapat berujung ke berbagai hal terutama depresiasi rupiah. “Perlu diingat, depresiasi rupiah yang mendalam berdampak buruk kepada perekonomian baik bagi pelaku industri maupun Pemerintah dalam bentuk lonjakan cicilan utang maupun bunga.

Selain itu, kerentanan depresiasi rupiah bakal meningkat karena tingginya porsi kepemilikan aset asing di dalam negeri baik di pasar saham (sekitar 45 persen) maupun pasar obligasi (sekitar 30 persen). “Jadi, tolong jangan gegabah soal RUU PPSK ini,” jelas dia.

Kedua, ungkap Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu, persoalan yang dihadapi sektor keuangan Indonesia saat ini lebih kepada rendahnya peranan sektor keuangan terhadap perekonomian nasional. Beberapa rasio sudah mengonfirmasi hal itu seperti M2/PDB dan rasio kredit terhadap PDB.

Data tersebut tidak lebih dari 40 persen. “Artinya peranan sektor keuangan di Indonesia sangat dangkal,” kata pemegang gelar Doktor Ekonomi Syariah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut.

Hal inilah yang menjadi penyebab daya saing ekonomi rendah. Banyak hal yang menyebabkan kondisi itu seperti ridigital suku bunga perbankan (penurunan bunga acuan direspon lambat suku bunga perbankan) hingga struktur pasar oligopoli. “Hal-hal ini jauh dari persoalan yang diangkat oleh RUU ini,” papar dia.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengatakan, revisi regulasi pada saat kondisi tidak normal (pandemi) bisa berdampak buruk terhadap persepsi pasar. Apalagi yang disasar adalah bank sentral.

“Selama ini, kami melihat bank sentral bekerja cukup baik. Tidak ada isu yang menonjol kecuali pada pergerakan nilai tukar yang masih cukup liar. Kami memandang bahwa persoalan kelembagaan sangat sensitif terutama bagi pihak asing,” ucap Anis.

Terkait dengan campur tangan Menteri Keuangan soal penunjukan Dewan Pengawas Bank Indonesia dan OJK dalam RUU PPSK, Anis mengatakan kekhawatiran dia. “Saya khawatir hal ini malah berpotensi menimbulkan masalah baru.”

Dijelaskan, dalam UU No: 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Indonesia memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bahkan komposisi KSSK ini merepresentasikan kelembagaan yang jangkau kewenangannya tak saja sektor moneter, tapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan.

Khusus tentang Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Anis mengatakan, dia lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI. “Bukan sekedar alat bantu DPR, penguatan kewenangan BSBI diperlukan selayaknya lembaga pengawas sebagaimana lembaga tinggi negara lainnya,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait