JAKARTA – Sudah banyak wilayah di Indonesia mulai menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal ini dilakukan tentunya untuk menekan penyebaran wabah Covid-19.
Namun, sebenarnya jauh sebelum penerapan PSBB, banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah pusat dan daerah untuk melawan wabah ini. Seperti menutup sekolah, tempat-tempat wisata, tempat ibadah, pusat keramaian, hingga perkantoran yang menyebabkan mayoritas masyarakat pekerja melakukan kerja dari rumah atau Work From Home (WFH).
WFH dan penerapan dari social distancing tentunya bagi sebagian orang membuat jenuh, karena segala aktivitas yang dilakukan di luar, kini dilakukan di dalam rumah. Penerapan aturan ini bukan hanya diterapkan di Indonesia, namun seluruh dunia.
Ketua Bidang Ekonomi Kreatif, Pariwisata, Koperasi dan UMKM Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha muda Indonesia (BPP HIPMI) Rano Wiharta mengatakan, kejenuhan yang dialami mayoritas masyarakat ini tentunya bisa dimaknai bahwa mereka juga pasti memerlukan refreshing keluar rumah setelah wabah Covid-19 usai nanti. Hal ini tentunya digunakan oleh banyak masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata sebagai “balas dendam” karena berbulan-bulan melakukan semua aktivitas di dalam rumah.
“Golden moment atau peluang emas ini tentunya harus dimanfaatkan betul-betul oleh industri pariwisata. Akan ada lonjakan besar di sektor ini bahkan Presiden Joko Widodo sudah memprediksi lonjakan ini akan terjadi di awal 2021,” ujar Rano, seperti keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (28/4/2020).
Yang harus dilakukan industri pariwisata saat ini, lanjut Rano, tak lain adalah promosi. Promosi adalah sebuah langkah tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) lalu pemerintah daerah (Pemda) yang memiliki tempat-tempat wisata yang potensial dan seluruh stakeholder.
“Ini tepat dilakukan disaat semua orang jenuh di rumah dan mengidam-idamkan untuk jalan-jalan. Lalu bagaimana dengan pelaku industri pariwisata dalam skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terkena dampak besar seperti penginapan, restoran, rental mobil, dll?,” ucapnya.
Menurutnya, pelaku industri pariwisata yang tidak lagi memiliki biaya untuk berpromosi, disarankan untuk menggunakan kekuatan media sosial. Media sosial adalah sarana gratis, mudah dan paling efektif disituasi saat ini serta bisa dilakukan dimana saja, termasuk di rumah.
“Untuk skala yang lebih besar, Kemenparekraf harus dapat menggunakan peluang ini dengan baik, banyak tempat indah di Indonesia yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia sendiri. Ini saatnya berpromosi masif agar tempat tersebut diketahui luas, supaya nanti setelah wabah Covid-19, masyarakat memiliki banyak pilihan tempat tujuan di negaranya sendiri, ketimbang mereka harus lari pergi berwisata ke luar negeri yang akhirnya menguntungkan negara lain ketimbang negara kita tercinta yang indah ini,” ungkapnya.
Dalam konteks konten promosi, Rano menyarankan, harus juga dibuat visual yang menarik tentunya dan airing atau penyebaran promosinya dibuat luas, bukan hanya dalam tapi juga luar negeri. Satu hal yang sangat prinsip yang harus diubah oleh Kemenparekraf, yaitu tag line promosi pariwisata Indonesia terlalu banyak, seperti Wonderful Indonesia untuk audience luar negeri dan Pesona Indonesia untuk publik dalam negeri.
“Belum lagi tiap daerah memiliki tag line masing-masing. Ini sangat ambigu, seperti kita bingung menentukan identitas pariwisata kita sendiri, jadi jangan heran juga jika orang luar bingung dengan identitas kita. Contohlah Malaysia, begitu berani membuat slogan untuk pariwisatanya, yaitu “Malaysia, The Trully Asia” dengan aktris Michelle Yeoh sebagai Ambassador-nya. Cukup satu slogan ini, dari dulu Malaysia selalu di atas Indonesia untuk kunjungan wisatawan mancanegaranya, padahal bisa dibilang bahwa kita memiliki keindahan alam jauh di atas Malaysia,” tegasnya.