Oleh: Mohamad Ikhsan Tualeka
Ternyata bukan perkara mudah menerima kekalahan dari kontestasi Pilkada. Apalagi jika dinamikanya begitu tajam dan sengit seperti Pilkada DKI Jakarta baru-baru ini. Faktanya, lepas pilkada, belum banyak yang bisa ‘move one’. Untuk perkara yang satu ini, kita sejatinya bisa belajar dari Daeng Jusuf Kalla (JK).
Pengalaman politisi-saudagar ini cukup lengkap. JK pernah menang, juga kalah, terpuruk dan bangkit lagi. Dari JK kita dapat belajar bahwa kekalahan memang sakit tapi tak perlu diratapi berlama-lama.
Bisa dilihat, sewaktu maju sebagai satu-satunya Capres dari Sulawesi/Bugis di Pemilu 2009 (Semua Capres Cawapres lainnya saat itu dari Jawa), JK tak pernah menuduh bahwa yang tidak memilihnya di Pemilu 2009 berarti anti Pancasila. Ketika akhirnya kalah pun, Ia juga tak pernah menuding pemilih di Pilpres 2009 itu anti kebhinnekaan.
Karena itu aneh ketika hari-hari ini JK di-bully gerombolan orang di media sosial. Ditengarai karena terungkap bahwa ada saran dari JK agar Anies Baswedan maju dalam Pilkada DKI – kemudian dì luar prediksi banyak pihak bisa menang.
Ketika itu, kandidat yang menguat hanya Ahok, JK kemudian menyarankan nama Anies Baswedan pada pimpinan Parpol sebagai sosok yang bisa menjadi kompetitor dan alternatif pilihan. Tak ada tekanan dalam proses ini. JK pun tak menggunakan instrumen kekuasaannya sebagai Wapres untuk memaksakan Anies harus jadi calon. Sebagi warga negara yang baik, dan berpengalaman, bisa jadi JK punya pertimbangan tersendiri.
Mungkin karena memang tokoh ummat. Pandangannya didengar dan bisa jadi dipertimbangkan para tokoh serta pimpinan partai politik. Sejarah kemudian mencatat, detik-detik terakhir, duet AHY – Sandy yang hampir jadi diusung sejumlah koalisi partai, akhirnya pecah kongsi menjadi Anies Sandy, dan AHY – Sylvi.
Belakangan, akibat kekalahan Ahok, yang diantarnya karena ulah sendiri, JK ikut mendapat imbas politik, dan dijadikan sasaran ‘tembak’ penyebar fitnah dan dipersalahkan. Pertanyaannya, salah JK dimana?
Lebih aneh lagi ketika materi Bully-an untuk memojokkan JK diklaim oleh penyebar isue, diambil dari pidato lamanya di Bulan Februari lalu. Modalnya juga hanya potongan kliping koran. Ini pasti kerjaan Cyber Army-nya yang kehabisan bahan dan minim kreativitas.
Padahal dalam Pidato JK yang dijadikan sumber untuk merusak nama baiknya itu, JK justru menegaskan bahwa kesenjangan di Indonesia bisa berbahaya bila agamanya berbeda. Karena kesenjangan sosial-ekonomi bisa merembet pada konflik antar agama. Hal ini berbeda misalnya dengan Filipina, Thailand & Amerika Serikat yang kesenjangannya tinggi tapi agamanya rata rata masih sama (Di AS pemicunya bisa rasial, misalnya kulit putih dan hitam)
Dalam konteks ini, JK hanya sebatas mengingatkan, dan bahkan di pidato itu mengajak untuk sama-sama mengurangi kesenjangan. Tak ada kebencian pada etnis tertentu apalagi menyerang agama tertentu. Dari berbagai sumber, pidato penutupan Sidang Tanwir Muhammadiyah itu JK malah memotivasi Ummat Islam untuk memilih jalan jadi pengusaha dan pedagang, agar ummat bisa mandiri.
Lantas salah JK dimana?. Tapi -kita tahu- gerombolan tukang fitnah yang mem-bully, dan bisa jadi bekerja karena pesanan ini, seperti tak punya hati, apalagi nurani. Peryataan dari kutipan koran, kemudian diolah menjadi seakan-akan JK yang menyalahkan etnis tertentu, dan karena itu dianggap provokator. Cara menggiring opini yang kasar dan -mohon maaf- memalukan.
Semua ini tentu adalah cara-cara yang tak bermartabat. Merusak demokrasi dan semakin menimbulkan perpecahan. Sudah saatnya dihentikan. Pembunuhan karakter tidak boleh lagi terjadi atas nama apa pun, dan untuk kepentingan siapa pun.
Setiap upaya memproduksi dan mereproduksi pesan yang tidak berdasar pada fakta tidak perlu lagi terjadi. Setiap orang mesti mem-verifikasi kembali tiap konten pesan yang mau disebarkan. Jika tidak, kita justru bisa menjadi bagian dari mata rantai penyebar fitnah yang tidak saja menyesatkan, tapi juga menghancurkan (*)
Dari berbagai sumber