Medsos dan Keberagamaan Kita

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Media sosial atau yang lazim disingkat dengan medsos dalam Kamus Besar Bahasa Indobesia (KBBI) diberi arti laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Pengartian demikian secara umum tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan para ahli, sebut saja misalnya Joyce Kasman Valenza (2014). Menurutnya, media sosial adalah platform internet yang memungkinkan bagi individu untuk berbagi secara segera dan berkomunikasi secara terus menerus dengan komunitasnya.

Dengan kemajuan dunia teknologi informasi, medsos tidak hanya mengalami perkembangan kecanggihan tetapi juga pekembangan ragamnya. Kini terdapat puluhan aneka medsos diciptakan dan telah beredar di dunia. Ayu Rifka Sitoresmi dalam salah satu tulisannya pada laman Liputan6.com, setidaknya menyebut ada 14 media sosial yang sering digunakan orang saat ini, yaitu: YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok, WhatsApp, Line, Tumblr, Pinterest, Telegram, Raddit, Snapchat, Linkedln, Facebook Messenger. (31 Agustus 2021). Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa masyarakat memilih medsos tersebut dalam kehidupan sehari. Terlepas dari alasan penggunaannya, yang jelas, perangkat berbasis internet itu ini bisa akrab dengan kehidupan manusia sehari-hari, salah satunya karena ditemukannya gadget (gawai) berupa tilpon pintar (smartphone). Dengan benda canggih dan murah ini, sekarang semua orang bisa dengan mudah menggunakan medsos tersebut untuk berbagai keperluan.

Aneka ragam medsos tersebut kini memang memberikan berbagai kemudahan kepada kita. Dengan youtube misalnya, kita dapat menyebar luaskan berbagai video mengenai apa pun. Dengan facebook kita bisa menemukan sekaligus berkomunikasi dengan saudara teman dan kenalan baru. Dengan WA kita bisa berkomunikasi secara daring tanpa dibatasi ruang dan waktu. Berbagai kegiatan dakwah agama pun selain bisa mudah disebar ke berbagai lapisan juga bisa terdokumentasi dengan baik tanpa harus menyediakan lemari arsip seperti ketika menyimpan dokumen sebelum ada medsos.
Akan tetapi sadarkah kita, bahwa bahwa aneka jenis makhluk bernama medsos tersebut di samping memberikan dampak positif dengan berbagai kemudahan yang ditimbulkannya, juga memberikan berbagai peluang negatif. Jagat maya sebagai medan utama berbagai medsos, telah membuka juga berbagai sisi-sisi negatif bagi diri dan tata komonikasi kita dengan orang lain. Ironisnya, beberapa sisi negatif tersebut ada yang dengan sengaja kita ‘manfaatkan’. Sebagai contoh, di antara kita ada yang dengan sengaja membuat konten negatif atau mengeluarkan pernyataan dengan nada permusuhan via medsos. Beberapa waktu yang lalu, terdapat beberapa orang dilaporkan ke aparat penegak hukum karena dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Tetapi, lebih dari itu, laporan itu kemudian ditindak lanjuti dengan penagkapan karena dianggap memenuhi unsur pelanggaran/ pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE atau ketentuan pidana lainnya. Beberapa orang yang dilaporkan itu bahkan menyangkut beberapa orang terkenal. Bukti-bukti sebagai bahan laporan itu dapat dengan mudah didapat karena berkat medsos yang secara otomatis terdokumentasi dalam bentuk rekam jejak digital.

Kebebasan kita bermedsos kini memang didukung oleh iklim politik yang ada. Alam demokrasi di Indonesia memberikan ruang sangat lebar. Sebagai negara demoktatis ketiga di dunia, masyarakat Indonesia memang beruntung bisa menyatakan pikiran apa pun via media sosial asal tidak melanggar rambu-rambu undang-undang. Ketika aktivitas bermedsos tersebut kemudian melanggar dan kemudian ada pihak yang melaporkan, maka siap-siaplah kita akan keluar masuk ke instansi penegak hukum dengan segenap konsekuensinya. Beberapa orang mungkin sudah siap untuk menanggung konsekuensi ini, Akan tetapi, pengalaman menunjukkan, bahwa banyak di antara kita ternyata tidak siap. Hal ini terbukti begitu harus berurusan dengan penegak hukum ada yang menangis dengan penuh penyesalan. Mungkin kemudianb terbanyang oleh mereka ketika harus berpisah suami/sitri dan anak-anak yang dicintai karena harus berurusan dengan penegak hukum dengan meninggalkan rumah. Apalagi, ketika harus sampai masuk penjara. Kegarangan saat bermedsos berganti dengan wajah memelas dan sesekali sesenggukan di hadapan penyidik.

Terlepas dari UU ITE yang secara formal akan menyasar kepada warga negara siapa pun, tanpa pandang bulu, bagi orang yang telah mengaku beragama kegiatan bermedsos ini seharusnya memang harus diukur dengan kacamata agama. Nilai ajaran agama harus menjadi pijakan utama seseorang sebelum terlalu jauh bermedsos ria. Berasyik masyuk dengan medsos dengan segenap pernik-pernik yang ada, harus tetap didasari oleh sebuah pertanyaan mendasar. Pertanyaan itu ialah, apakah kegiatan dan aktivitas saya ini tidak melanggar rambu-rambu agama yang saya anut.
Banyaknya kasus pelaporan akibat bermedsos karena dianggap menyinggung pihak lain. Padahal, agama telah memberikan rambu-rambu tentang bagaimana hukumnya orang “tajassus” (mencar-cari kesalahan) dan membuka aib orang di depan umum, menghina, menggunjing, berbohong dan menyebarkan kebongan, memberi julukan dengan sebutan yang tidak baik kepada orang lain. Agama juga telah mengajarkan bagaimana kita mengingatkan orang lain, apa bila mereka salah. Bahkan, agama juga mengajarkan sikap diam, jika memang kita tidak bisa berkata yang baik. Dalam Islam semua itu sudah terdokumentasi secara keilmuan ke dalam disiplin ilmu etika/ akhlaq. Bahkan sebelum perbuatan-perbuatan tercela itu terlahir dalam perbuatan nyata, telah diantisipasinya dengan menggarap wilayah spiritual dengan membahas segenap penyakit-penyakit hati, seperti jeleknya sifat iri, dengki, dendam.

Ketika kegiatan kita bermedsos, melanggar wilayah tersebut terlepas dari norma hukum yang ada, sejatinya kita juga telah melanggar rambu-rambu ajaran agama kita. Dalam konteks demikian, jelas tidak berlebihan apabila kita simpulkan keberagamaan kita salah satunya juga dapat diukur dari tampilan kita bermedsos ria saat ini. Orang boleh tidak tahu, tetapi nurani kita tentu dapat mengukur sendiri. Dan, yang penting “Bukankah setiap manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri? ( Al Qur’an, 75:14)

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait