JAKARTA, Beritalima.com– Dunia akademik di Indonesia dikejutkan dengan langkah Universitas Pertahanan (Unhan) menganugrahkan jabatan akademiki profesor kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Jumat (11/6).
Keterkejutan karena para akademisi untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi memerlukan proses sangat panjang dan berliku. Pendidikannya juga harus lulusan S3 (doktor). Untuk Profesor Madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk Profesor penuh diperlukan KUM 1000.
KUM dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah.
“Bahkan akademisi harus menulis artikel yang dimuat di Scopus. Hingga saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus,” kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga, Sabtu (12/6).
Karena itu, para akademisi merasa tidak adil bila ada seseorang yang terkesan begitu mudahnya memperoleh jabatan profesor. Moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut. Apalagi kesan politis begitu kental dari pemberian jabatan profesor tersebut.
Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis. Karena itu, Menteri Pendidikan seyogyanya menertibkan pemberian jabatan profesor. “Sudah saatnya aspek politis dipisahkan secara tegas dengan aspek akademis dalam pemberian profesor.”
Untuk itu, sudah saatnya menteri pendidikan tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor. Sebab, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis.
Pemberian jabatan profesor harus diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap perguruan tinggi. Bahkan di Jerman, pemberian jabatan profesor menjadi kewenangan fakultas. “Dengan begitu, kemurnian akademis akan lebih kental dalan penetapan profesor,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)