CIREBON, beritalima.com- Mungkinkah ada benang merah situs tiga batu andesit tulisan Tiongkok kuno Ciawijapura Susukan Lebak, Cirebon dengan muhibah perjalanan Laksmana Chengho ke pelabuhan Muara Jati Cirebon di abad 15 Masehi (tahun 1401-1500).
Prasasti tiga batu dengan tulisan Tiongkok kuno di tengah persawahan Ciawijapura Susukan Lebak, Cirebon. Secara geografis, situs ini berada pada posisi 108° 35′ 792″ BT dan 06° 51′ 723″ LS dengan ketinggian sekitar 190 m dpl.
Mungkinkah mereka dahulu ikut rombongan muhibah Laksamana Tjengho tatkala kapalnya merapat ke pelabuhan Muara Jati Cirebon untuk mengisi perbekalan?
Dari seorang petani penggarap sawah diperoleh info bahwa pernah beberapa orang melihat bayangan perempuan cantik putih berambut panjang dekat lokasi makam tersebut namun hanya terlihat berdiri tak mengganggu.
Jalan ukuran 2 meter dan menyempit menuju lokasi masih berupa tanah dan basah, licin jika hujan dan bebatuan sehingga agak sulit mengakses situs tersebut dari jalan besar dekat Puskesmas Sendong sekitar 2 km dengan naik motor atau ojek, mobil roda empat sulit masuk lokasi karena jalan sempit.
Tulisan di batu andesit yang ditemukan oleh aparat desa setempat tahun 1992 tersebut baru bisa dibaca setelah dilakukan penelitian oleh beberapa ahli, termasuk dosen Bahasa China Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 2003, Shakoh Seger.
Setelah tulisan di batu itu berhasil diterjemahkan, sangat membantu sekali. Orang pun akhirnya paham tentang batu tersebut. Namun yang dipahami memang sebatas makna dari tulisan di batu tersebut. Sejarahnya atau latar belakangnya butuh pendalaman dan penelitian lebih lanjut,” jelasnya.
Di prasasti pertama terbuat dari batu andesit. Ukuran batu tersebut panjangnya sekitar 3 meter dan lebar 2 meter dan ketebalan atau tinggi sekitar 2 meter. Tulisan China kuno yang ada pada batu tersebut berukuran 103 cm x 84 cm yang terdiri dari empat baris membujur dari atas ke bawah dan satu baris melintang dari kiri ke kanan di bagian atas.
Terjemahan dari prasasti tersebut berbunyi makam ayahanda Bapak Xii Ya Xiao dari Dinasti Qing yang berasal dari Desa Xi Qi Xii Kabupaten Jie Yang Karesidenan Chao Zou dan makam ibunda keluarga XII dari Suku (marga) Lin diletakkan bersama-sama oleh putra-putranya yang berbakti yaitu Qian Wan, Qian jian, Qian Cheng, Qian Ying pada tahun ke-28 pemerintahan Dao Guang (1484 M).
“Jadi ini kalau disimpulkan makam. Orang China punya tradisi pemakaman harus di tempat tinggi. Sudah sejak lama begitu. Dan tempat paling tinggi di sekitar sini ya di Gunung Singkil,” jelasnya.
Untuk prasasti kedua terbuat dari bahan yang sama, dari batu andesit yang terdapat di tanggul ke-4 sebelah timur. Ukuran batu ini sekitar 100 cm dengan lebar sekitar 80 cm. Namun ketinggian dan ketebalan batu ini belum bisa diketahui karena sebagian bidangnya terpendam dalam tanah.
Tulisan dalam prasasti kedua ini berbunyi Hou Fu yang jika diterjemahkan berarti Dewa Bumi.
“Yang prasasti kedua ini diperkirakan tempat sembahyang atau ibadah. Sementara untuk prasasti ketiga berbunyi Xii Shi Zu yang diperkirakan nama orang, dengan panjang 210 cm dan lebar 200 cm sementara untuk tebal dan tinggi belum terukur karena sebagian terpendam dalam tanah,” paparnya.
Diakuinya, jumlah pengunjung yang datang ke situs tersebut tidak menentu. Sangat jarang sekali orang Tiongkok atau keturunan Tionghoa datang ke lokasi tersebut. Padahal lokasi tersebut punya keterkaitan erat dengan leluhur warga Tionghoa.
“Selama saya menjaga di sini, nyaris belum pernah rombongan atau warga keturunan Tionghoa yang datang ke sini. Yang sering datang paling anak-anak sekolah sekitar sini. Di hari-hari besar China pun tak ada bedanya, jumlah pengunjung masih sangat sedikit,” tuturnya.
Dijelaskan pria yang sudah mengurusi situs Gunung Singkil sejak tahun 1992 tersebut, sampai dengan saat ini lahan tempat situs Gunung Singkil tersebut bukan milik pemerintah, melainkan milik masyarakat. Kondisi itu yang membuat penataan dan pemeliharaan situs tidak maksimal.
Cheng Ho mengunjungi Nusantara (Kepulauan Indonesia) sebanyak tujuh kali. Ketika singgah di Samudera Pasai, ia menghadiah Sultan Aceh sebuah lonceng raksasa “Cakra Donya”, yang hingga kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring keramik yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.
Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana. (Lily).