Oleh: Ecevit Demirel *
MANUSIA hadir di bumi ini sebagai makhluk pilihan. Diberi akal sekaligus hawa nafsu, menjadikan manusia paling istimewa dibanding makhluk lain. Allah swt sendiri melabelkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan utama. Bahkan posisinya di tempat tertinggi di antara ciptaan lain.
Manusia memiliki unsur dan daya materi, memiliki jiwa dengan ciri-ciri berfikir dan berakal. Karena kelebihan itulah Allah swt menunjuk manusia sebagai pemimpin bumi, penjaga bumi dan melestarikannya.
Keputusan Sang Khaliq ini sempat menuai protes dari para AlgojoNya yaitu malaikat, namun dengan tegas Allah berfirman “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-baqarah:30).
Kehadiran manusia tentu bukan saja sebagai hiasan bumi belaka. Serba-serbi kelebihan yang telah Allah swt anugerahkan menjadi bukti bahwa manusia memiliki pikulan amanah yang tidak kecil. Selain mengabdikan diri kepada Allah swt dengan beriman dan melakukan amal soleh, mengikut syariat yang ditetapkan oleh agama melalui Rasul-Nya, manusia juga harus bisa beramal Ma’ruf, Nahi Mungkar serta menjaga diri dan keluarganya dari ancaman neraka.
Meski Allah swt telah berjanji dalam surah Albaqarah ayat 286, bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” bukan berarti itu sebuah kebebasan berkehendak, Namun semuanya harus mengalir berdasarkan tuntunan Al-qur’an dan hadis nabi.
Hal inilah yang mestinya kita cerna benar selaku manusia. Hidup untuk tidak sekedar hidup adalah tunjangan penting demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Agama Islam sendiri mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah makhluk kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya.
Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Untuk mencapai kehidupan yang sesuai dengan perintahNya dan Menjadikan manusia tetap berada pada jalan yang benar, Allah swt telah mengutus para nabi dan rasul sebagai pembimbing umatnya. Tanpa terasa tahun demi tahun terus berganti, bumi pun semakin tua. Para utusan Allah, nabi dan rasul sudah kembali padaNya. Tinggalah manusia yang semakin pandai saja. Namun analisis kepandaiannya justru sering kali berbanding terbalik dengan apa yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Di sinilah yang menjadi masalah utama. Manusia yang seharusnya mengabdikan diri pada Sang Khaliq justru mengabaikannya dan sering kali perbuatannya hanya sebatas demi kepentingan diri sendiri tanpa mempertimbangkan baik buruknya.
Manusia memang makhluk yang mudah sekali melupakan peringatan Allah. Lihatlah, fenomena yang terjadi di daerah-daerah bekas bencana. Beberapa hari setelah bencana, masjid-masjid dipenuhi manusia yang meratap dan berdoa kepada Allah. Tapi, ketika tahun berganti tahun, ketika bangunan-bangunan mulai direnovasi, saat sisa-sisa bencana mulai sirna, maka banyak lagi yang melupakan masjid. Sholat jamaah yang sebelumnya sempat ramai, kemudian menjadi sepi kembali.
Lebih parah lagi, kemaksiatan yang sebelumnya sempat mereda, kembali marak. Bahkan, ada yang secara terang-terangan kembali menentang Allah untuk menurunkan azabnya. Praktek prostitusi, penjualan minuman keras, tempat-tempat hiburan malam, kembali menjamur bahkan dilegalisasi. Sikap-sikap menantang seperti tindak pelecehan bahkan penistaan terhadap agama Islam mewabah dimana-mana. Persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum nabi-nabi yang diperingatkan tetapi malah menantang Allah dan Rasul-Nya.
Penyebab utama berubahnya arah hidup manusia tidak lain karena kehilangan fitrah sejatinya, sehingga berakibat keluar dari garis kebenaran yang tak seperti seharusnya. Hal ini tentunya melahirkan persoalan baru yang amat berbahaya bagi perjalanan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk mengatasi hal diatas, cara yang paling mudah adalah dengan saling ingat-mengingatkan sesama kita. Namun sangat disayangkan, tekhnik saling ingat-mengingatkan ini justru sering disalahartikan. Banyak di antara kita berpendapat bahwa mengingatkan orang, justu hal yang diingatkan itu akan terjadi padanya. Seperti pengakuan seorang Ibu yang mengingatkan pada anak perempuan tetangganya agar tidak pulang larut malam, keesokan malamnya jusru anak perempuan-nyalah yang pulang larut malam. Meskipun yang terjadi adalah sebuah kebetulan, tapi ke-engganan ini menjadi kebiasaan yang populer.
Sebenarnya kata “ingat-mengingatkan ”tidak hanya berarti memberi peringatan, akan tetapi saling memberi peringatan. Atau lebih mudahnya saling mengingatkan.
Kata “saling” di sini adalah adanya timbal balik antar keduanya. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa dengan adanya timbal-balik maka adanya keterkaitan antar satu dengan lainnya.
Jika satu yang salah atau melenceng dari yang diajarkan oleh Allah swt dan rasul-Nya maka tugas yang lain untuk mengingatkan. Begitu juga sebaliknya.
Ada kalimat penting harus benar-benar bisa kita cerna dengan baik. Kalimat ini telah Allah “notariskan” di dalam Al-quran surah Al-Ashr
“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
Ayat di atas cukup jelas, bahwa saling ingat-mengingatkan merupakan anjuran agama, jika kita tidak ingin disebut golongan yang merugi.
Tidak hanya itu anjuran untuk saling ingat mengingatkan sampai beberapa kali Allah swt sebut dalam Al-qur’an seperti dalam surah An-Nahl ayat 125
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia,-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Usaha untuk saling ingat-mengingatkan atau menyeru manusia ke jalan Allah bukanlah pekerjaan yang mudah, ia memerlukan pengorbanan segalanya, baik tenaga, harta benda jika diperlukan nyawa sekalipun. Usaha yang mulia ini akan berhadapan dengan banyak halangan dan rintangan yang datangnya dari berbagai penjuru. Jika kita tabah menghadapinya Insya Allah usaha kita akan berhasil.
Tanggungjawab menyeru ke jalan Allah adalah menjadi tanggung jawab semua kita. Kita dituntut untuk menyampaikannya sesuai kemampuan kita, baik dengan lisan, tulisan, harta benda ataupun sekurang-kurangnya berdakwah dengan contoh teladan yang baik.
“Siapakah yang terlebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal sholeh seraya berkata: ”Sesungguhnya saya salah seorang Muslim” ? (Al-Fussshilat ayat 33)
Fungsi kita sebagai manusia adalah menyampaikan dan saling mengingatkan, sedangkan yang memberikan taufik dan hidayah hanyalah Allah swt. Selayaknya kita dapat menjadi pribadi yang tidak pernah bosan-bosan untuk saling mengingatkan.
Apa yang sudah penulis sampaikan di sini bukan menjadi jaminan bahwa penulis lebih baik dari Anda semua, tapi ini diharapkan untuk menjadi jalan interaksi agar kita dapat menjadi pribadi yang saling ingat-mengingatkan dan mengingat bahwa dakwah adalah sebuah kewajiban.
Barakollah, semoga bermanfaat bagi kita semua.
* Penulis bukan ahli dakwah/ustadz/kiyai, sehari-hari berprofesi jurnalis. Tulisan disarikan dari sejumlah referensi sahih, dipadu dengan hasil perenungan dan pengalaman pribadi.