Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek
MEMASARKAN MARKETING POLITIK: KISAH DENNY J.A DAN LSI
Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si Kemunculan buku Denny JA yang berjudul: “Membangun Legacy-10P Untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik” menarik untuk diperbincangkan, paling tidak untuk beberapa alasan. Pertama, buku ini adalah renungan dan refleksi, baik teoritis maupun praktis, dari kiprahnya sebagai “The Founding Father” konsultan politik di Indonesia. Tentu sebagai sebuah refleksi 17 tahun banyak hal yang dapat diungkap dan dipelajari, direnungkan selama kurun waktu yang cukup panjang tersebut.
Pembaca tentu ingin mencari dan mendapatkan “moral story” di balik pengalaman Denny JA. Setiap orang sebagai pembaca berhak untuk menafsirkan ‘moral story’ apa yang diperoleh setelah membaca buku ini. Jadi tentu bagi yang penasaran apa pesan moralnya, silahkan baca sendiri. Kedua, kita ingin meminjam istilah buku sastra soal ‘genre’. Buku ini memang samar atau lintas genre. Apakah ini sejenis autobiografi pribadi Denny JA? Apakah ini semacam buku ilmiah yang berangkat dari-dari data penelitian, pemaparan metode penelitian, analisis teoritis dan berakhir dengan pembuktian hipotesis dan pembangunan teori (theory building)?
Walaupun dalam bukunya penulis menyatakan teorinya sendiri yang disebut 10P (mungkin bisa disebut semacam “Denny JA’s Law of Political Marketing”), tapi pemaparannya tidak mengikuti kaidah-kaidah buku ilmiah standar yang kaku, seperti landasan teori, metode, data dan analisis data, serta kesimpulan. Buku ini justru memakai format naratif. Setiap bab selalu dimulai dengan sebuah cerita konkret yang tepat, inspiratif dan insightful untuk memulai suatu topik yang mau dibahas. Dan kita mau tidak mau menerima saja kesimpulan akhir dari setiap cerita yang dikisahkan Denny JA tersebut.
Hal ini belum tentu dianggap sebagai kekurangan, namun bisa jadi justru inilah kelebihan tersendiri dari buku ini. Mudah dicerna. Juga buku ini tidak bisa juga dianggap sebagai sebagai sebuah manual (manual book) tentang pemenangan pemilu (pemilihan umum). Kalaupun dari cerita-cerita yang mengalir dari tangan penulis (Denny JA), secara implisit terbesit resep-resep dan cara-cara (know how) melakukan konsultasi politis tersebut, tapi itu ‘terlalu sedikit’ untuk ukuran sebuah buku manual.
Namun yang jelas buku ini ‘enak dibaca’ dan memang perlu (meminjam istilah Majalah Tempo). Ketiga, karena buku ini ditulis langsung oleh ‘pelaku sejarah’ dari lahirnya tradisi riset-riset survei dan opini publik pascarezim otoriter di Indonesia, serta dikombinasikan dengan konsultasi politik, maka sekecil apa pun informasi yang dibagi (shared) ini akan menjadi menarik buat publik luas.
Cerita dari tangan pertama selalu akan menjadi daya tarik tersendiri. Soal kesahihan dan keotentikan sudah menjadi self-evident dengan sendirinya. Keempat, apresiasi layak diberikan kepada ‘keberanian’ Denny JA. untuk berterus terang bahwa ia adalah benar: pollster politik (pemilik LSI/Lingkaran Survei Indonesia) sekaligus dengan lantang menceritakan pengalamannya sebagai founding father konsultan politik Indonesia.
Sebab tidak semua orang yang berprofesi sebagai konsultan politik mau menunjukkan jati dirinya secara terang benderang. Bahkan diantara para pelaku konsultan politik ada semacam kredo: “Untuk jadi konsultan politik yang handal tidak perlu seluruh rakyat Indonesia kenal anda, cukup satu dua petinggi partai, semakin tersembunyi anda semakin baik”.
Tapi tidak demikiannya halnya dengan Denny JA. Ia tokoh dalam pusaran politik yang sangat populer baik di kalangan elite politik dan juga rakyat banyak. Pilihan ini menurut saya tidak mudah. Butuh keberanian tersendiri. Sebab sudah lama ada perdebatan apakah boleh seorang ilmuwan politik, seorang pollster (survei politik) boleh juga merangkap juga sebagai konsultan politik?
Banyak pemerhati dan aktivis prodemoktasi keberatan dengan fungsi ganda ini. Argumennya adalah; potensi konflik kepentingan ketika mengumumkan hasil survei opini publik dengan strategi pemenangan sebagai konsultan akan besar sekali.
Misalnya apakah ada kemungkinan konsultan mengumumkan surveinya ‘tidak jujur” karena ingin menyembunyikan kelemahan kliennya. Atau, konsultan sengaja merilis hasil surveinya untuk menggiring opini publik?
Menurut para pemerhati prodemokrasi, jalan keluarnya adalah melarang fungsi ganda ini. Tapi dalam buku ini, Denny JA dengan cerdik justru menunjukkan bahwa mustahil memisahkan kedua fungsi ini, jajak pendapat dalam bentuk survei dan polling adalah justru bagian yang tidak terpisahkan dalam pemasaran politik (jurus P2,P3, dan P4).
Persoalan apakah data anda bisa dipercaya tidak ada kaitannya dengan fungsi ganda ini, sepanjang anda menjaga norma-norma dan integritas akademik dalam penelitian anda. Namun tetap butuh ‘nyali’ yang besar untuk berterus-terang.
Saya kira Denny JA sudah siap di masa-masa yang akan datang untuk mempertanggungjawabkan secara moral pilihan ini. Karena bisa jadi publik akan terus menggugat soal ini. Kelima, buku ini jadi istimewa karena Denny JA sedang memainkan fungsi self-marketing untuk dirinya sendiri dan juga LSI.
Apakah salah? Tidak juga. Tergantung sudut pandang. Bukti self-marketing itu bisa anda jumpai dalam buku ini, paling tidak di halaman 212 misalnya. Ini kutipan dari buku tersebut:
“Selesai sudah buku ini. Formula 10P untuk marketing politik. Di mana letak keistimewaan buku ini?” Dan selanjutnya Denny JA sendiri yang memaparkan empat keutamaan buku ini (populer dan kaya informasi, tidak sekedar bersifat akademik tapi juga kasus konkret, kasus indonesia, dan ditulis dari pengalaman 17 tahun).
Saya cenderung bersetuju saja dengan apa yang disampaikan Denny JA. Keenam, di luar lima alasan sebelumnya, kemunculan buku ini sangat penting bagi kita sebagai warga demokrasi (demos) untuk membuka perbincangan (diskursus) dan mengemukakan pertanyaan yang serius: “Ke arah manakah demokrasi di Indonesia sedang bergerak?
Apakah betul seperti yang ditulis oleh Denny JA dibagian epilognya: era politis ideologis yang kaku sudah berakhir. Demokrasi modern menuntut adaptasi terhadap terhadap hal-hal yang konkret yang menjadi kebutuhan dan keinginan rakyat banyak.
Terkesan pragmatis? Bisa jadi! Tapi sejarah ke depan masih akan berlanjut, kita tunggu saja. Persoalan ini bisa akan menjadi unfinished bussiness kita di masa depan.
Dalam usaha memajukan demokrasi, ada dua kehendak yang bisa sejalan atau juga bisa tidak sejalan. Pertama keinginan untuk pendidikan politik dan kedua keinginan untuk memenangkan kontestasi politik.
Sejatinya dalam proses demokrasi elektoral ada keinginan yang kuat untuk ‘mengawinkan’ dua kepentingan ini. Pemilih teredukasi dan sekaligus kandidat yang prospektif (bagus) bisa menang.
Namun ada kalanya pemilih justru ‘dimanipulasi’ oleh kecanggihan kerja-kerja persuasi oleh sebuah kekuatan yang bernama: konsultan politik, sehingga kandidat yang buruk bisa menang. Keprihatinan ini masuk akal, karena tidak ada jaminan konsultan politik (yang punya sumber daya yang mumpuni; ahli-ahli atau ilmuwan yang qualified) akan punya ideologi dan idealisme.
Publik acap kali curiga bahwa firma atau konsultan ini akan bekerja tergantung dari siapa yang membayar paling bagus. Dalam titik ini kecemasan orang sangat beralasan: kecanggihan mesin pemenangan yang dimotori konsultan politik handal bisa membuat seseorang yang sejatinya “tidak layak menjadi pejabat publik” malah jadi terpilih. Di manakah tanggung jawab moral konsultan politik? Saya teringat buku yang ditulis oleh seorang jurnalis Sasha Issenberg yang berjudul: “The Victory Lab: The Secret Science of Winning Campaigns (2012)”.
Buku ini menarik karena tidak membahas sepak terjang politisi, tapi justru kerja-kerja ilmiah yang melibatkan banyak ahli dan ilmuwan: ahli politik, komunikasi, ahli statistik, dan juga ahli psikologi dalam melakukan studi ilmiah yang serius mulai dari survei, melakukan proses eksperimen, modeling.
Di luar kepentingan pemasaran, khazanah ilmu pengetahuan sebenarnya juga diuntungkan dalam kerja-kerja ini, karena studi tentang perilaku memilih (voting behavior) banyak juga memanfaatkan data dari kerja-kerja seperti ini. Walaupun Sasha tidak membahas secara langsung dimensi etis dari kerja-kerja ilmiah seperti itu, hal ini tetap saja bisa dipersoalkan.
Ada satu lagi buku yang menurut saya memaparkan secara bagus dan kronologis peran konsultan politik di Amerika, ditulis oleh Dennis W Johnson yang berjudul: ”Democracy for Hire: A History of American Political Consulting (Oxford University Press, 2017)”.
Publik bisa melihat bahwa apa yang mungkin dikerjakan oleh Denny JA dan juga banyak konsultan politik bukan barang aneh dalam jagat demokrasi modern. Terakhir sebagai penutup, seperti banyak pertanyaan-pertanyaan lucu yang diajukan ketika ada wawancara ketika seseorang ditanya: coba sebutkan dengan satu atau dua kata yang menggambarkan orang ini?
Untuk buku ini mungkin pertanyaannya seperti ini: kalau mau diringkas menjadi satu kata, satu kalimat, apa kesimpulan utama dari buku ini? Kesimpulannya: pemasaran politik adalah sesuatu yang tidak terelakkan (inevitable). —00—